NASIONAL

Haedar Nashir Bantah Anggapan Muhammadiyah ‘Kenyang’ di Era Orba

Yogyakarta (SI Online) – Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, meluruskan anggapan yang dilontarkan beberapa pihak terkait Muhammadiyah sebagai ormas Islam yang paling diuntungkan di masa Orde Baru.

Faktanya, kata Haedar, Muhammadiyah tidak terbiasa dengan politik konspirasi, membangun lobi dengan tukar tambah kekuasaan atau melakukan manuver politik untuk memperebutkan kursi jabatan.

“Muhammadiyah tidak biasa politik konspirasi. Tapi politik yang biasa-biasa saja, politik yang jujur, tegas, argumentatif, dan tidak berorientasi pada kekuasaan. Maka kalau kemudian di era Orde Baru sekalipun, itu lahir tokoh-tokoh Muhammadiyah yang masuk ke kabinet, hal tersebut tidak minta dan tidak merupakan hasil rembugan dengan PP Muhammadiyah,” ungkap Haedar Nashir dalam acara yang diselenggarakan Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah pada Rabu (10/11/2021), seperti dilansir Muhammadiyah.or.id.

Haedar menerangkan, saat rezim Orde Baru berkuasa, mereka melakukan marginalisasi politik Islam, yaitu dengan mengeluarkan kebijakan deideologisasi. Dalam kebijakan ini, partai-partai politik tidak diperbolehkan menggunakan asas lain selain asas Pancasila.

Karenanya, tidak masuk akal bila Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berkuasa di kabinet rezim Orde Baru yang sangat meminggirkan Islam politik dalam percaturan nasional.

“Ada pendapat di era Orde Baru Muhammadiyah menguasai birokrasi dan sudah saatnya yang lain. Sebenarnya tidak, kalau soal peminggiran politik terhadap kekuatan Islam, kan, dua pertiga dari perjalanan Orde Baru itu, kan, ada proses marjinalisasi politik Islam, karena ada asas tunggal Pancasila,” ujar Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini.

Haedar mengakui bahwa kader-kader Muhammadiyah sempat menduduki jabatan Menteri Agama seperti Abdul Mukti Ali (Kabinet Pembangunan I, 1971-1973, Kabinet Pembangunan II, 1973-1978), Munawir Sjadzali (Kabinet Pembangunan IV, 1983-1988, Kabinet Pembangunan V 1988-1993), dan Tarmidzi Taher (Kabinet Pembangunan VI, 1993-1998). Akan tetapi mereka bertiga diangkat murni berdasarkan kalkulasi ideologis karena dianggap sesuai dengan cara kerja rezim Orde Baru dengan visi developmentalismenya.

“Mukti Ali, Munawir Sjadzali, Tarmidzi Taher, mereka memang murni kader Muhammadiyah tapi mereka juga sekolah ke Barat, ada yang ke tentara, kemudian mereka menjadi teknokrat. Karena menjadi teknokrat, sehingga wajar Pak Harto memilih mereka. Visi developmentalisme itu paham tentang membangun, dan kalau membangun kelompok teknokratis yang kepilih,” kata Guru besar UMY kelahiran Bandung, Jawa Barat, 25 Februari 1958 ini.

Dengan begitu, adanya tokoh-tokoh Muhammadiyah di kabinet pembangunan Orde Baru lantaran visi developmentalisme ala Orde Baru dengan alam pikiran Islam Berkemajuan ala Muhammadiyah menemui titik temu. Karenanya, kata Haedar, kader-kader Muhammadiyah yang masuk dalam kabinet pada Orde Baru bukan berdasarkan politik konspiratif melainkan penilaian yang objektif.

“Jadi, anak-anak Muhammadiyah perlu paham sejarah seperti ini bahwa kehadiran Muhammadiyah yang melahirkan generasi muslim terpelajar yang bisa hidup di tengah perubahan zaman itu karena mampu memadukan antara agama dan ilmu pengetahuan, kemudian dilengkapi dengan profesionalitas,” tegas Haedar.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button