Insiden Capitol Hill: Runtuhnya Supremasi Demokrasi
Pada 6 Januari 2021, terjadi serbuan terhadap Capitol Hill. Para pendukung Trump melakukan demonstrasi di depan gedung Kongres AS tersebut. Mereka memaksa masuk dan menggedor-gedor pintu ruangan Kongres. Rencananya saat itu Kongres akan mengukuhkan kemenangan Joe Biden sebagai presiden AS ke-46.
Para demonstran membawa plakat bertuliskan “Trump adalah Presiden Kami”. Terjadilah bentrokan antara demonstran dengan petugas keamanan. Insiden tersebut telah menelan korban empat orang tewas. Sementara sidang Kongres ditetapkan untuk reses.
Insiden Capitol Hill ini telah membuat kaget dan syok dunia. Para pemimpin dunia seolah tidak percaya bahwa hal demikian terjadi di AS. Serangan terhadap Kongres AS bagi mereka merupakan serangan terhadap demokrasi dan nilai-nilainya. Selama ini AS menjadi model penerapan demokrasi di dunia. Akan tetapi hari ini demokrasi di AS telah mengalami kejatuhan supremasi.
Insiden 6 Januari 2021 di Capitol Hill merupakan yang terburuk sejak insiden serbuan di tahun 1812. Memang Capitol Hill ini mengalami banyak insiden. Akan tetapi insiden-insiden sebelumnya masih belum menggoyahkan posisi AS sebagai kampium demokrasi. Selama sekitar 220 tahun, Capitol Hill masih menjadi Kuil Demokrasi. Capitol Hill masih disakralkan sebagai pusat demokrasi dunia. Bila di belahan dunia lain terjadi pelanggaran terhadap demokrasi, mereka akan diingatkan untuk selalu memperbaiki kehidupan demokrasinya. AS seolah mendapat legitimasi untuk mengintervensi negara lain yang ‘kurang demokrasinya’ tersebut.
Tatkala suatu wilayah dipandang menjadi basis pertumbuhan bagi bibit otoritarianisme, AS pun tampil di wilayah tersebut bak pahlawan yang akan menyelamatkan demokrasi dan rakyat. Pada tahun 2003, dengan gagahnya AS menyerang Irak. Serangan darat yang begitu masif akhirnya mampu menjatuhkan Saddam Husein.
Begitu pula waktu terjadi Arab Spring, AS segera bergerak cepat untuk mengakhiri pemerintahan yang dipandangnya otoriter. Sebutan otoriter hanyalah basa-basi AS guna mengganti bonekanya yang sudah tidak menguntungkannya. Beberapa rejim pun tumbang berganti ke rejim lainnya. Boneka baru menggantikan boneka lainnya. Hanya saja ketika pengganti belum ditemukan, maka saat itu masih dipertahankan. Apa yang bisa kita lihat pada rejim Bashar Asad hari ini, telah membuktikannya.
Di Indonesia sendiri, pemilu 2019 menjadi pemilu paling buruk sepanjang sejarah. Sudah menelan korban ratusan nyawa petugas KPPS, terjadi juga kecurangan yang terstruktur dan masif. Sebenarnya supremasi demokrasi jauh sebelum 6 Januari sudah runtuh. Akan tetapi kuil demokrasi masih sakral. Capitol Hill masih berdiri kokoh. Capitol Hill dengan angkuhnya seolah mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang terbaik, menghormati hak asasi manusia.
Apakah anda menilai bahwa program War on Terorisme itu sebagai hal yang wajar terjadi?
Siapapun yang jeli tentunya bisa melihat bahwa tidak ada kejujuran politik AS di dunia. Atas nama demokrasi, AS mengintervensi negara lain. Demokrasi hanyalah alat penjajahan. Bukankah AS sendiri telah melanggar nilai HAM ketika korporasi raksasanya misalnya masih bercokol di Papua mengeksploitasi puluhan tahun tambang emas?