OPINI

Kampanye Jokowi Dilanda Krisis

Tak salah kalau kita meyakini bahwa rapat tertutup itu antara membicarakan perlawanan keras dari rakyat yang dilancarkan dengan santai. Jusuf Kalla (JK) kelihatannya mulai risau. Tapi tak tahu kita apakah beliau risau sungguhan atau risau ecek-ecek. Kuat dugaan saya, Pak JK cuma risau basa-basi. Apa iya dia perduli dengan kalah-menang Jokowi di pilpres 2019? Bukankah wapres yang pragmatis ini lebih banyak memikirkan apa yang akan dia lakukan setelah masa jabatannya selesai akhir tahun ini?

Baik, kita tinggalkan soal motivasi JK. Kita perlu menjawab pertanyaan besar. Mengapa bisa terjadi perlawanan meluas dari rakyat?

Kalau mau merenungkannya dengan satu pepatah, maka pepatah itu adalah “siapa menabur angin, akan menuai badai”. Maksudnya, kezaliman demi kezaliman yang ditebar di mana-mana, sekarang siap dipanen. Kesewenangan yang dilakukan karena kekuasaan, kini telah matang untuk dipetik hasilnya.

Seharusnya orang-orang bijak di kubu Ko-Ruf sudah tahu. Seharusnya mereka telah menyadari itu. Sepatutnya mereka paham bahwa itulah hukuman yang ditimpakan oleh rakyat terhadap kesewenangan penguasa. Sewajarnyalah mereka tahu bahwa ‘kesewenangan’ dan perbuatan ‘sesuka hati’, sudah tidak zamannya lagi. Sudah lama lewat eranya. Sudah ‘expired’. Cara-cara seperti itu sudah usang.

Dan seharusnya mereka ‘tobat’ dari perbuatan yang sewenang-wenang itu. Perbuatan-perbuatan sesuka hati itu.

Apa gerangan contoh-contoh kesewenangan dan sesuka hati itu? Mari kita ingat kembali sebagian.

Misalnya, penguasa menyepelekan aksi-aksi bela Islam yang dilaksanakan berkali-kali oleh umat pada 2016 dan 2017. Tidak saja dianggap remeh, para pemimpin aksi itu dikejar-kejar. Puncaknya, Habib Rizieq Syihab (HRS) dikenai dakwaan mesum. Akhirnya beliau hijrah ke Arab Saudi demi meredam situasi. Dari sinilah bermula langkah yang sangat keliru oleh penguasa. Bukankah ini kesewenangan?

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button