SIRAH NABAWIYAH

Kasih Sayang Rasulullah Saw terhadap Kaum Fakir Miskin

Sejatinya Rasulullah Saw lebih mengkhawatirkan umatnya bergelimangan kekayaan daripada kemiskinan, sampai-sampai beliau menyatakan: ”Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku takutkan akan menimpamu, namun yang aku takuti ketika dunia dihamparkan kepadamu.”(HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad)

Namun demikian, beliau juga memahami bila kefakiran dapatlah menyebabkan kekufuran. Oleh karena itu beliau berlindung dari kefakiran dalam doanya: ”Ya Allah saya berlindung kepadamu dari kekafiran dan kemiskinan.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban)

Karena kepekaan beliau kepada krisis kefakiran dan dampaknya pada kelemahan, hati beliau bergerak kepada orang-orang fakir. Meskipun beliau sendiri hidup sebagai bagian dari mereka. Aisyah berkata: “Keluarga Muhammad Saw tidak pernah kenyang dengan makanan lebih dari tiga hari hingga Beliau Saw berpulang ke Rahmatullah.” (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Ibnu Hibban]

Kepada kaum fakir miskin Rasulullah berusaha untuk memberi apa yang beliau punyai. Bila beliau tidak punya sesuatu, beliau tetap berusaha untuk memberi solusi atas permasalahan yang menimpa walaupun harus meminta kepada para shahabatnya. Yang jelas, beliau tidak pernah meninggalkan seorang fakir tanpa pertolonganpun.

Abu Hurairah bercerita, “Seorang laki-laki mendatangi Rasulullah Saw dan berkata, ‘Saya dalam kesulitan.’ Rasulullah menyuruhnya untuk menemui istri-istri beliau. Sang istri berkata, ‘Demi yang mengutusmu dengan kebenaran wahai Rasulullah, saya tidak punya apa-apa selain air.’ Beliau menyuruh untuk menemui istri beliau yang lain dan jawabannya tetap sama. Seluruh istri beliau menjawab dengan jawaban yang sama, ‘Demi yang mengutusmu dengan kebenaran wahai Rasulullah, saya tidak punya apa-apa selain air.’

Walaupun beliau berada dalam kesusahan dan sangat membutuhkan namun beliau selamanya tidak pernah berhenti melakukannya.

Sahal bin Sa’ad bercerita, “Seorang perempuan datang kepada Rasulullah dengan sebuah selimut yang sudah ditenun. Beliau bertanya, ‘Tahukah kamu selimut apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Iya, ini adalah jenis selimut syamlah.’ Rasulullah Saw bersabda, ‘Iya benar.’ Perempuan ini berkata, ‘Aku menenunnya untuk engkau pakai, wahai Rasulullah.’ Rasulullah mengambilnya seakan beliau memerlukannya. Beliau keluar kepada kami dan menjadikan burdah itu sebagai sarungnya. Seorang laki-laki memujinya dan berkata, ‘Berikanlah kepadaku, alangkah bagusnya!’ Orang-orang berkata, ‘Engkau tidak boleh begitu. Burdah itu dipakai oleh Nabi dan beliau membutuhkannya. Engkau malah memintanya dan engkau tahu bahwa beliau tidak menolak permintaan.’ Laki-laki ini berkata, ‘Demi Allah, saya tidak memintanya untuk saya pakai. Saya memintanya semata-mata agar ia bisa menjadi kain kafan saya’.” “Dan akhirnya kain itu dijadikan sabagai kafannya,” sambung Sahal. (HR. Bukhari, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad)

Anas bin Malik menuturkan bahwa seorang laki-laki dari kaum Anshar datang meminta-minta kepada Nabi. Beliau bersabda, “Apakah di rumahmu ada sesuatu?, Ada wahai Rasulullah,” jawabnya, ”Saya punya alas pelana yang saya gunakan dan satu lagi saya hamparkan.”

“Coba bawa ke sini”, sabda Rasulullah. Laki-laki ini kemudian membawa dua barang tersebut kepada Rasulullah. Rasullah Saw mengambilnya dan bersabda, “Siapa yang mau membeli ini?” Seorang laki-laki berkata, “Saya mau mengambilnya dengan harga satu dirham.” Beliau bersabda lagi, “Adakah yang mau mengambilnya lebih dari satu dirham. Dengan dua atau tiga dirham begitu.” Maka berkatalah seorang laki-laki yang lain, “Saya mengambilnya dengan dua dirham.” Beliau memberikan barang tersebut kepadanya lalu mengambil uang dua dirham tadi dan menyerahkannya kepada orang Anshar ini. Beliau Saw bersabda, “Belilah makanan dengan satu dirham dan berikan kepada keluargamu. Sementara satu dirham sisanya belikan kapak dan bawa ke sini.” Sejurus kemudian orang Anshar ini datang kepada Rasulullah dengan membawa kapak. Rasulullah membuatkan gagang kapak tersebut dan bersabda, “Pergilah. Carilah kayu bakar dan jual. Aku tidak ingin melihatmu lima belas hari ke depan.”

Maka pergilah orang ini mencari kayu bakar dan menjualnya. Kemudian kembali kepada Rasulullah dan telah memperoleh sepuluh dirham. Sebagiannya dibelikan baju dan sebagian lainnya dibelikan makanan. Rasulullah bersabda kepadanya: “Ini lebih baik bagimu daripada nanti pada hari kiamat akan ada tanda di wajahmu akibat meminta-minta. Sesungguhnya meminta-minta itu tidak baik kecuali kepada tiga orang: orang yang sangat fakir, orang yang banyak utang, atau orang yang memiliki tanggungan membayar diyat (denda sebagai ganti qishash).” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah)

Jelaslah kasih sayang Rasulullah Saw kepada orang fakir adalah kasih sayang yang bermanfaat dan mendorong kepada kebaikan. Tujuannya adalah untuk membahagiakan mereka dengan kebahagiaan yang sebenarnya, tanpa ada kepalsuan. Kasih sayang yang tidak sekadar mencukupi mereka semata, tapi juga mengajari mereka, mengangkat kepercayaan diri dan membawa mereka sukses dunia-akhirat. Satu kesatuan yang menakjubkan. Hal ini tidak akan kita dapati di dunia ini melainkan pada seorang Nabi. Wallahu a’lam bissawab.

(SR/Raghib As-Sirjani/Islamstory)

Artikel Terkait

Back to top button