LAPORAN KHUSUS

Saiful Mujani Persoalkan Sila Pertama Pancasila, Apa Urusannya?

Jakarta (SI Online) – Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila, Syaiful Arif, menegaskan, sila Ketuhanan Yang Maha-Esa di dalam dasar negara Pancasila tidak hanya milik umat Islam, dan tidak hanya menguntungkan umat Islam, tetapi milik semua umat beragama di Indonesia.

Pernyataan Syaiful itu menanggapi pernyataan pendiri SMRC Saiful Mujani yang menyatakan, sila Ketuhanan Yang Maha Esa cenderung dipahami hanya milik umat Islam dan menguntungkan umat Islam. Menurutnya hal itu ditandai maraknya peraturan hukum bernuansa syariat Islam.

Menanggapi pernyataan tersebut, Arif mengajak agar memahami sejarah perumusan sila Ketuhanan Yang Maha-Esa dalam Pancasila. Sila Ketuhanan Yang Maha-Esa itu kan awalnya diusulkan Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945 di sidang BPUPKI.

Dalam pidatonya, Soekarno menyatakan, “Prinsip dari Indonesia merdeka adalah bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih, yang Muslim bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, umat Buddha bertuhan menurut petunjuk kitab sucinya, demikian pula pemeluk agama lain. Lalu di akhir kalimat, Soekarno menegaskan: Hatiku akan berpesta raya jikalau Saudara-saudara menyetujui Indonesia merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha-Esa!”

Arif melanjutkan, lalu, sila Ketuhanan Yang Maha Esa direvisi Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945, menjadi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Urutannya pun digeser, dari sila kelima dalam usulan awal Soekarno, menjadi sila pertama.

“Ingat, Ketua Panitia Sembilan adalah Soekarno. Artinya, pergantian urutan ini juga buah dari pemikirannya.”

Menurut Arif, karena menimbulkan keberatan bagi anggota BPUPKI non-Muslim, maka sila “Ketuhanan bersyariah” itu pun dihapus, diganti dengan Ketuhanan Yang Maha-Esa. Pergantian ini dilakukan para tokoh Islam, yakni Mr Kasman Singodimedjo (Muhammadiyah), Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah), Kiai Wahid Hasyim (Nahdlatul Ulama), dan Teuku Muhammad Hasan (tokoh Aceh).

Arif mengungkapkan pergantian ini didorong oleh Bung Hatta untuk menghindari pemisahan wilayah Indonesia Timur dari Indonesia. Alasan utama para tokoh Islam mengganti “tujuh kata” tersebut adalah keutuhan bangsa.

Hal ini karena menghindari perpecahan bangsa, lebih diutamakan daripada memperjuangkan penegakan syariah dalam dasar negara. Apalagi sila Ketuhanan Yang Maha-Esa, dalam kaca mata Islam, mencerminkan doktrin tauhid yang nilainya lebih tinggi daripada syariah.

Pertanyaannya, jika pengganti ‘tujuh kata’ dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah para tokoh Islam, maka sila tersebut hanya milik umat Islam?

“Tentu tidak. Para tokoh Islam tersebut dengan sadar menegakkan nilai-nilai ketuhanan universal yang dianut oleh semua agama, agar semua umat beragama memiliki sila tersebut, serta memiliki bangsa Indonesia,” tutur Arif, Jumat (15/7/2022), seperti dilansir Republika.co.id.

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button