Say No to Ghibah
Salah satu penyakit rohani yang harus dibasmi adalah ghibah atau gosip. Ghibah atau menggunjing adalah menyebut atau menceritakan keburukan orang lain dan yang bersangkutan tidak suka jika ia mendengarnya. Penyakit ghibah ini ditengarai masih banyak hinggap di tubuh kaum muslimin. Oleh karena itu diperlukan tindakan penanganan preventif dan kuratif untuk mengatasi penyakit yang cukup berbahaya ini.
Gosip dalam kajian agama dikenal dengan istilah ghibah (menggunjing). Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin mendefinisikan ghibah yaitu menyebut saudaramu dengan hal yang tidak disukainya jika ia mendengarnya, baik kamu menyebutnya dengan kekurangan yang ada pada badan, nasab, akhlak, perbuatan, perkataan, agama, atau dunianya, bahkan pada pakaian, rumah dan kendaraannya. Misalnya, kita menyebut seseorang itu pendek, hitam, pesek atau semua hal yang menggambarkan sifat badan yang tidak disukainya, berarti kita telah berbuat ghibah. Termasuk kategori ghibah, menurut Al Ghazali, adalah isyarat, anggukan, picingan, bisikan, tulisan, gerakan dan semua hal yang memberi pemahaman tentang apa yang dimaksud (tentang kekurangan seseorang dan itu tidak disukainya), maka ia masuk ghibah dan diharamkan.
Masalah ghibah dalam Islam termasuk perkara yang penting dan berat yang menyangkut hati (kejiwaan) seseorang. Orang yang suka berghibah adalah tanda orang yang di dalam hatinya ada penyakit. Dengan kata lain, ghibah adalah penyakit hati.
Membicarakan, menggunjing atau menggosipkan orang lain (apalagi kekurangannya) memang “mengasyikkan” dan cenderung lupa akan diri sendiri. Tidak ada manfaat dari ghibah kecuali hanya sekedar pengisi waktu luang yang laghwi (sia-sia) sekaligus menambah dosa.
Peluang untuk membicarakan keburukan orang atau berghibah semakin terbuka lebar dengan makin maraknya penggunaan media sosial. Lewat sarana jejaring sosial seperti facebook; twitter; instagram; whatsapp; line dan sebagainya orang jadi asyik dan sibuk dengan urusan orang lain daripada mengurus dan memperhatikan dirinya sendiri. Maka tumbuh subur lah informasi dan berita-berita yang tidak valid dan tidak benar atau yang dikenal dengan sebutan hoax. Berita-berita “sampah” (hoax) itu dengan secepat kilat kemudian menyebar luas (viral) di berbagai jejaring sosial hanya dengan copy paste tanpa dicek dan ricek dulu kesahihannya. Jika berita negatif itu benar adanya bisa menjadi ghibah, dan jika tidak benar itu adalah fitnah.
Al Qur’an menggambarkan orang yang menggunjing saudaranya (ghibah) seperti orang yang memakan daging saudaranya yang sudah mati. Allah SWT berfirman : “Dan janganlah sebagian kamu menggunjng sebagian yang lain. Suka kah salah seorang dii antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?” (Al Hujuraat : 12). Rasulullah sendiri telah melarang perbuatan ghibah beriringan dengan larangan perbuatan-perbuatan keji lainnya. Sabdanya : ”Janganlah kalian saling mendengki, janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian saling bersaing, dan janganlah kalian saling membuat makar. Janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain, dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.”
Mengingat begitu besar bahaya yang ditimbulkan oleh perbuatan ghibah, maka balasan bagi para pelaku ghibah juga sangat berat dan hina. Allah memberikan balasan siksa di dalam kubur berupa siksa, begitu juga balasan siksa di akhirat nanti. Jabir RA berkata, kami pernah bersama Rasulullah SAW dalam suatu perjalanan, kemudian Rasulullah SAW melewati dua kuburan yang penghuninya tengah disiksa. Lalu Nabi SAW bersabda : “Sesungguhnya keduanya disiksa dan keduanya tidak disiksa karena dosa besar. Yang satu (disiksa karena) dahulu menggunjing orang, sedangkan yang lain (disiksa karena) dahulu tidak membersihkan kencingnya.” Kemudian Nabi SAW meminta pelepah dua korma dan membelahnya, kemudian memerintahkan agar setiap belahan itu ditanam di atas kuburan. Nabi SAW bersabda : “Sesungguhnya keduanya akan diperingan siksanya selagi kedua pelepah itu masih basah – atau belum kering.”
Dalam hadits lain, dari Anas RA berkata, Rasulullah SAW bersabda : “Pada malam ketika aku melakukan perjalanan malam (isra’), aku melewati suatu kaum yang mencakar wajah mereka dengan kuku-kuku mereka sendiri. Aku bertanya, “Wahai Jibril, siapakah mereka itu?’ Jibril menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang menggunjing dan mencela kehormatan orang lain.”
Agama kita mengajarkan agar kita sibuk dengan kekurangan diri kita sendiri (dalam arti terus-menerus memperbaiki diri) sehingga kita “lupa” dengan kekurangan orang lain dan kalaupun kita tahu kekurangan atau cacatnya tetapi tidak menyebarkannya ke orang lain (berbuat ghibah). Alangkah elok dan terpujinya jika kekurangan orang lain kita tutup rapat-rapat sehingga tidak menimbulkan kekeruhan suasana di masyarakat. Nabi SAW bersabda : “Orang yang menutup kejelekan orang lain di dunia, kelak Allah akan menutupi kejelekannya di hari kiamat.” (HR. Muslim).
Al Hasan berkata, “Wahai anak Adam, sesungguhnya kamu tidak akan mencapai hakikat iman sehingga kamu tidak akan mencela orang dengan yang juga ada pada dirimu. Juga hingga kamu mulai memperbaiki cela tersebut, lalu kamu memperbaiki cela dirimu sendiri. Bila kamu telah melakukan hal tersebut, berarti kamu telah sibuk dengan dirimu sendiri. Hamba yang paling dicintai Allah adalah hamba yang seperti ini.” Sahabat Umar RA berkata, “Kalian harus melakukan dzikrullah, karena sesungguhnya ia merupakan penawar, dan janganlah kamu mengingat manusia karena sesungguhnya ia merupakan penyakit.”
Semoga Allah SWT menjadikan kita sebagai hamba-Nya yang selalu sibuk memperbaiki diri untuk taat kepada-Nya dan terhindar dari segala macam penyakit hati, termasuk penyakit ghibah.Aamiin. Wallahu a’lam bish-shawab.
Hamdi, S.Sos
Anggota Forum Akselerasi Masyarakat Madani Indonesia (FAMMI)