SUARA PEMBACA

Telah Hilang Secuil Hati Nurani Pejabat Negeri

Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi alias Bang Pepen, baru-baru ini ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi dari hasil operasi tangkap tangan (OTT) KPK. Rahmat Effendi diduga menerima suap untuk proyek pengadaan barang dan jasa, serta lelang jabatan di lingkungan Pemkot Bekasi. Ia sendiri menjabat sebagai Wali Kota Bekasi menggantikan wali kota sebelumnya yaitu Mochtar Mohammad yang juga tersandung kasus korupsi (Kompas.com, 7/1/2022).

Dilansir oleh CNNIndonesia (6/1/2022), Rahmat Effendi diduga menerima uang sebesar Rp7,1 miliar sebagai imbalan atas pembebasan lahan swasta yang akan digunakan dalam proyek-proyek milik Pemerintah Kota Bekasi tahun 2021.

Mirisnya, ternyata pandemi bukanlah akhir dari siklus korupsi di negeri ini. Ianya bahkan tak mampu mengembalikan secuil hati pejabat negeri. Selayaknya sebuah siklus, kasus pergantian pejabat senantiasa diwarnai dengan perguliran pelaku korupsi. Sekalipun tak bisa dipukul rata, namun ia seperti sebuah keniscayaan bahwa setiap pegawai pemerintahan akan selalu korup. Ini bukan hal yang tabu bagi kita. Publik seakan kenyang dengan pemberitaan kasus korupsi dan OTT setiap tahunnya.

Beberapa kasus yang diproses KPK sepanjang Maret 2020 hingga Maret 2021, atau selama masa pandemi ini, diantaranya: kasus korupsi Bupati Kutai Timur Ismunandar, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna, Bupati Banggai Laut Wenny Bukamo, Menteri Sosial Juliari Batubara, serta Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah (CNNIndonesia, 2/3/2021).

Beberapa bulan lalu, kita juga dikejutkan dengan data meningkatnya 70,3% harta kekayaan pejabat negara di masa pandemi yang serba sulit dan mencekik (CNNIndonesia, 7/9/2021). Sungguh berbanding terbalik dengan kehidupan rakyat yang sangat miris. Bahkan ada yang sampai meninggal karena kelaparan sebab tak mampu membeli makanan selama pandemi ini.

Lantas mengapa korupsi layaknya menjadi sebuah budaya kebanggaan negeri yang terus saja dilestarikan? Setidaknya ada dua sebab yang bisa kita soroti.

Pertama, penerapan sistem demokrasi dengan biayanya yang mahal. Sudah bukan rahasia lagi di tengah kita, bahwa biaya yang digunakan untuk mencalonkan diri menjadi pejabat negara begitu menggunung. Dengan cara berpikir selayaknya ideologi kapitalis hari ini, wajar saja muncul pemikiran untuk mengembalikan besarnya modal yang telah dikeluarkan. Sungguh rugi betul ketika masuk dengan modal menggunung, kala sudah menduduki kursi kekuasaan dibebankan dengan berbagai macam urusan rakyat, dengan gaji yang tak mungkin menutupi modal awal pula. Agaknya itulah logika yang berlaku dalam kepala-kepala pejabat negeri ini.

Kedua, sistem pemerintahan demokrasi sebagaimana telah disebutkan, hari ini bergandeng erat dengan penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Jalinan ini akan memberi ruang yang sangat luas akan adanya praktik korupsi. Berkali-kali bukti itu hadir di depan mata kita. Bagaimana mesranya penguasa dan pengusaha berselingkuh di depan mata rakyatnya. Bahkan tidak sedikit hari ini, penguasa adalah pengusaha itu sendiri.

Setiap kebijakan yang lahir dari meja pemerintahan, senantiada berporos pada keuntungan pihak pemodal (kapitalis) dan sebaliknya, sangat merugikan rakyat. Undang-undang pesanan yang telah disahkan tentu merupakan arena suap dan korupsi yang menjanjikan. Kementrian dan setiap kursi pemerintahan tentu punya akses yang besar atas hal tersebut. Jadi memang bukan tidak mungkin, bahwa para pejabat nagaralah orang-orang yang paling bisa meraup keuntungan.

Inilah dia, kombinasi sempurna sistem demokrasi-kapitalisme, menjadi rantai baja yang semakin kuat mencekik rakyat. Semakin mencuramkan jurang kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin. Pergantian orang-orang dalam lingkungan kekuasaan dan pandemi Covid-19 nyatanya bukanlah akhir dari budaya keji ini. Sebab diakui maupun tidak, kesalahan itu bukan pada individunya, tetapi pada sistem cacat buatan manusia yang tetap eksis dan dipertahankan hingga kini.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button