RESONANSI

Ulama dan Umat, Bersatulah!

Kendati umat Islam konon mayoritas di negeri ini, namun selama ini terkesan seakan-akan minoritas.

Selama 78 tahun merdeka, umat Islam lewat para tokohnya, sangat minim mengukir sejarah. Lebih sering menjadi “maf ‘ul” (objek) ketimbang “fa’il” (subjek) yang menciptakan sejarah.

Dalam memilih sosok pemimpin yang akan menentukan warna kehidupan bermasyarakat dan bernegara, mestinya suara umat Islam itu satu, karena untuk menilai kriteria pemimpin yang harus dan atau haram dipilih, yang wajib dan yang atau haram dita’ati, dasar acuannya sama yaitu Al-Qur’an dan As Sunnah (Q.S. An-Nisaa 59).

Kenyataannya?

Dari sekian banyak faktor yang menjadi penyebab, yang paling utama adalah belum terciptanya persatuan dan kesatuan, akibat dari dua asas yang ditetapkan Allah SWT untuk terwujudnya persatuan, yakni kesamaan tujuan hidup semata-mata menggapai ridha Allah, dan kesamaan derap langkah, nada dan irama perjuangan dalam mencapai tujuan (Q.S. Ali Imraan 103) belum berhasil diwujudkan.

Akibatnya, keberadaan umat kini mendekati kondisi yang pernah disinyalir Rasulullah Saw, tak ubahnya hidangan makanan siap saji, yang diperebutkan oleh mereka yang sangat lapar dan rakus akan kekuasaan dan semua yang berbau duniawi.

Umat menjadi kehilangan arah, terombang-ambing, bak buih di lautan, terhempas ke berbagai arah, tergantung angin atau ombak yang menghempaskannya.

Tergantung pula kepada kepiawaian mereka yang berkepribadian dan berwajah ganda dalam mendesain kebohongan dan tipu daya lewat bujukan, rayuan dan banyaknya janji-janji menggiurkan yang dimuntahkan. Atau dalam bentuk riswah dengan berseliwernya amplop yang hanya akan mengundang laknat Allah SWT baik bagi yang memberi maupun yang menerima.

Menghadapi situasi yang sangat tidak sehat ini, seharusnya ulama dan umat segera bersatu.

Namun ironisnya, upaya ke arah persatuan terasa semakin jauh dari kenyataan. Yang ada dan acapkali dipertontonkan selama ini, justru upaya mempertajam perbedaan yang bukan prinsip untuk semakin menjauhkan persatuan dari harapan.

Sudah sejak lama Ulama dan umat dibagi-bagi ke dalam berbagai “firqah” – golongan -, di mana satu sama lain disibukkan hanya untuk saling mengecam dan menjatuhkan. Sehingga setelah masing-masing babak-belur, maka hilanglah kekuatan dan wibawa di hadapan lawan yang sesungguhnya (Q.S. Al Anfaal 46).

Persatuan terasa semakin jauh dari harapan, ketika akhir- akhir ini dipertontonkan kepada umat perdebatan yang emosional terkait nasab Rasulullah Saw. Antara pihak yang ingin diakui sebagai keturunan Nabi dengan pihak yang menentangnya.

Apa urgensinya ini semua bagi umat?

Lagi pula, bukankan agar terhindar dari “ashobiyah” – fanatisme – Allah SWT mengingatkan, bahwasanya perbedaan jenis pria dan wanita, bangsa, golongan (termasuk warna kulit dan status sosial) dimaksudkan Allah SWT hanya sekedar “lita’aarafu” – untuk memudahkan satu dengan yang lain saling mengenal – bukan untuk dibangga-banggakan.

Yang paling mulia di sisi Allah SWT sama sekali tidak dilihat dari atribut-atribut duniawi seperti itu, tapi oleh siapa yang paling bertakwa (Q.S. Al Hujuraat 13).

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button