MUHASABAH

Artis, Narkoba dan Kebahagiaan Semu ala Kapitalisme

Beberapa hari terakhir tengah bersliweran pemberitaan seorang artis kondang bersama suaminya yang ditetapkan menjadi tersangka atas penyalahgunaan narkotika. Hasil tes urin membenarkan bahwa yang bersangkutan, suami, beserta sopirnya mengonsumsi sabu. Berdasarkan hasil penyidikan keduanya mengaku telah mengonsumsi sabu sejak lima bulan terakhir (Tempo.co, 8/7/2021).

Pada penangkapan yang dilakukan pada Rabu (7/7/2021) di rumahnya, ditemukan barang bukti berupa sabu seberat 0,78 gram dan alat hisapnya. Sebagaimana dilansir Tribunnews.com (8/7/2021), alasannya mengonsumsi sabu adalah karena pandemi dan tekanan kerja.

Sungguh miris, public figure yang menjadi sorotan publik dan seharusnya memberi contoh yang baik bagi masyarakat, justru terarus mengonsumsi barang haram tersebut. Tentu tak ada yang tak mengenal sosok artis dan suaminya ini. Keluarga konglomerat dengan jumlah harta yang tak perlu diragukan. Rumah megah dan fasilitas mewah lainnya pun sudah bukan rahasia lagi bagi publik. Hidup mapan seolah tanpa kurang.

Tentu tidak sedikit yang memimpikan hidup sebagaimana keluarga ini. Di tengah berbagai himpitan segala kebutuhan sehari-hari yang selalu memenuhi kepala setiap orang, agaknya yang demikian tak pernah sekalipun menghampiri, apalagi menjadi beban bagi keluarga konglomerat ini.

Bukanlah personalnya yang semestinya menjadi fokus perhatian kita. Namun, kita perlu menaruh perhatian pada frekuensi terjadinya fenomena yang sama. Kita semua tentu sepakat, ini bukanlah kali pertama artis terjerat narkoba. Ini menunjukkan pada kita bahwa memiliki harta melimpah dan hidup mewah bukanlah sumber dari kebahagiaan hakiki. Bahagia yang melahirkan rasa tenang dan tentram.

Berapa banyak di antara kita yang masih beranggapan bahwa harta adalah sumber kebahagiaan? Atau barangkali kita adalah salah satunya? Mirisnya adalah seberapa sering kita merenung dan mengambil pelajaran bahwa banyak di luar sana yang kaya raya pun tidak selalu bahagia?

Banyak yang bergelimang harta tetapi diuji dengan sakit keras. Dioperasi hingga terasa habis seluruh tubuhnya, namun tidak kunjung mendapati kesembuhan. Berapa banyak di luaran sana yang bermandikan uang tapi memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan tragis? Berapa banyak yang hidup mewah tapi bahkan tak bisa tidur nyenyak di setiap malamnya? Berapa banyak yang terus menimbun harta tapi tak pernah merasakan ketenangan dalam hidupnya?

Lantas berapa banyak yang tak pernah pusing atas kenaikan harga tapi merasakan kekosongan dalam jiwanya? Sekali lagi, menegaskan bahwa harta bukanlah sumber kebahagiaan yang hakiki.

Adalah wajar jika hari ini banyak dari kita yang memimpikan hidup mewah dengan segala fasilitas nomor satu. Sebagaimana kehidupan public figure yang seringkali muncul di media mainstream maupun  layar-layar gawai kita. Bagaimana tidak, sejak lahir kita dibentuk oleh lingkungan yang sarat akan cara pandang kapitalis. Memandang bahwa kehidupan ini berporos pada kepentingan materi semata.

Kita dibesarkan dengan makna kesuksesan semu, sukses dalam pandangan kapitalisme. Ialah ketika kita memperoleh pekerjaan yang mapan dan berpenghasilan tinggi, punya rumah megah, pun lengkap dengan beberapa kendaraan pribadi. Cara pandang ini lantas membuat sebagian besar di antara kita memilih untuk menempuh pendidikan pada program studi yang prospek kerjanya menjanjikan. Tujuan pendidikan tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mendapatkan perkerjaan. Ya, inilah cara pandang ideologi kapitalisme. Menjadikan hidup bertujuan untuk memperoleh materi sebanyak-banyaknya.

Ideologi ini membuat kita sibuk dengan dunia. Kerja dari pagi sampai malam untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah, tapi lupa bahwa usia kita saja tiada yang dapat menjaminnya. Kapan kita mati dan dalam keadaan seperti apa, siapa yang tahu?

Kita dibentuk sedemikian rupa oleh ideologi yang diemban hampir seluruh negara di dunia ini, sehingga lupa atas hakikat kehidupan kita. Tiga pertanyaan mendasar, darimana kita berasal, untuk apa kita hidup, dan akan kemana kita setelah mati, menjadi kabur adanya. Padahal semestinya ketiganya harus terjawab dengan benar.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button