SYARIAH

Bahaya Disertasi Zina Abdul Azis

Merujuk Kepada Selain Ulama Sesat dan Menyesatkan

Parahnya lagi, Abdul azis merujuk pemahaman agamanya bukan kepada ulama. Dia merujuk kepada Muhammad Syahrur seorang profesor (emeritus) Universitas Damaskus di bidang tehnik sipil yang aktif menulis tentang keislaman, meskipun ngawur dan menyimpang dari Islam. Syahrur yang kelahiran Damaskus pada tahun 1938 ini menempuh studi S1 tehnik sipil di negara komunis Rusia dan studi magister serta doktoral di Irlandia dalam bidang mekanika pertanahan serta rekayasa fondasi di Universitas College Dublin. Jadi, keahliannya di bidang tehnik sipil, bukan agama. Dan dia tidak memiliki maraji’ atau referensi ilmiah para ulama.

Oleh karena itu, Syahrur tidak paham agama dan tidak punya kapasitas ilmu syar’i. Terlebih lagi, pendapatnya bertentangan dengan ijma’ ulama. Selain itu, Syahrul dikenal sebagai seorang tokoh liberal. Bahkan, menurut para ulama dia seorang syuyu’i (komunis) dan mulhid (atheis). Maka, Syahrur tidak bisa dijadikan sebagai rujukan. Menjadikan Syahrur sebagai rujukan dalam persoalan agama merupakan kesalahan fatal dan kesesatan.

Berbicara mengenai agama, sepatutnya Abdul Azis merujuk kepada ulama, sesuai dengan perintah Allah Swt: “Maka tanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui” (An-Nahl: 43 dan An-Anbiya’: 7). Belajar agama dari orang yang bukan ulama bisa sesat dan menyesatkan. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu begitu saja, namun Allah mencabut ilmu dengan mematikan para ulama. Jika tidak ada seorangpun ulama yang tersisa, maka orang-orang menjadikan orang-orang bodoh sebagai rujukan. Maka ketika mereka ditanya (suatu persoalan agama) maka merekapun memberi fatwa tanpa ilmu, maka mereka telah tersesat dan menyesatkan.” (HR. Muslim).

Untuk menafsirkan Alquran, kita harus mengunakan metodologi yang benar yang telah dibuat dan diajarkan oleh para ulama yaitu ilmu Tafsir. Ilmu Tafsir telah diterima secara ijma’ oleh para ulama sebagai metodologi yang otoratif dalam menafsirkan Alquran. Menafsirkan Alquran harus dengan Alquran itu sendiri dan As-Sunnah, bukan dengan hawa nafsu atau pendapat kita. Untuk itu, kita harus paham Alquran dan As-Sunnah dan memiliki kapasitas ilmu dalam menafsirkan Alquran sebagaimana diajarkan oleh para ulama salafush shalih dari para sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka.

Oleh karena itu, kita harus mengetahui berbagai disiplin ilmu yang mendukung metode ilmu tafsir yang telah dibuat dan diajarkan oleh para ulama seperti ilmu Tauhid, Hadits, Fiqh, Ushul Fiqh, I’rab (gramatika), Tarikh (sejarah) nasikh dan mansukh, dan lainnya. Standar ketentuan semacam itu akhirnya akan melahirkan tafsir Alquran yang benar dan dipertanggungjawabkan. Dan produk tafsir itu sendiri tidak akan keluar dari koridor ajaran Islam, sehingga Alquran shaalih li kulli zamaan wa makaan (sesuai untuk setiap zaman dan tempat) tanpa harus mengubah hukum-hukum yang telah qath’i dalam Alquran.

Kesimpulannya, disertasi ini telah membahayakan kehidupan individu muslim, rumah tangga, masyarakat dan generasi bangsa kita. Bahkan, membahayakan agama dan aqidah umat Islam dengan merusak ajaran agama dan menyesatkan umat Islam. Selain itu, juga membahayakan aqidah penulis disertasi dan orang-orang yang menyetujui dan meluluskannya dengan menyebabkan batal iman mereka atau keluar dari Islam (murtad). Rasulullah saw bersabda: “Janganlah kamu membahayakan dirimu sendiri dan jangan pula membahayakan orang lain.” (HR. Ibnu Majah, Addaruquthni dan Malik). Berdasarkan hadits tersebut, maka para ulama sepakat membuat kaidah Fiqh: “Laa dharaara wa laa dhiraara” (tidak boleh melakukan kemudharatan untuk diri sendiri dan untuk orang lain) dan kaidah Fiqh: “Adh-dhararu yuzaal” (Kemudharatan itu harus dihilangkan).

Oleh karena itu, disertasi ini mesti dibatalkan dan gelar doktor penulisnya mesti dicabut. Tidak perlu direvisi, karena telah menyimpang dari Islam dan tidak ilmiah. Penulis disertasi dan orang-orang yang menyetujui dan meluluskan disertasinya harus bertaubat dan meminta maaf serta diberi sanksi administrasi berupa pemberhentian dari jabatan mereka sebagai rektor, direktur pasca sarjana, dan dosen. Selain itu, mereka harus dihukum dengan sanksi pidana, karena telah merusak ajaran agama dan aqidah umat Islam. Disamping itu juga menyesatkan dan meresahkan umat Islam. Ini termasuk penistaan agama, bahkan lebih berbahaya dari penistaan agama. Agar menjadi pelajaran bagi mereka sehingga tidak terulang kasus ini dan mencegah orang lain untuk berbuat seperti ini. Semoga Allah Swt memberi petunjuk dan menjaga kita dari kesesatan paham Liberal, Syi’ah, komunis dan lainnya. Amin!

Dr. Tgk. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA
Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Aceh, doktor bidang Fiqh & Ushul Fiqh pada International Islamic University Malaysia (IIUM), Dosen Fiqh & Ushul Fiqh Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh, dan anggota Ikatan Ulama dan Da’i Asia Tenggara.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5

Artikel Terkait

Back to top button