NUIM HIDAYAT

Demokrasi Islam vs Demokrasi Liberal

Apa sistem pemerintahan dalam politik Islam? Ya teodemokrasi. Gabungan antara teokrasi dan demokrasi.

Gagasan ini ditelurkan oleh ulama besar Pakistan Abul A’la al Maududi. Tokoh besar Islam Indonesia Mohammad Natsir menyebutnya dengan teistik demokrasi, demokrasi yang berketuhanan. Proklamator Mohammad Hatta menyebutnya dengan demokrasi Islam.

Beda jauh antara demokrasi liberal dengan demokrasi Islam. Demokrasi Islam menekankan musyawarah, demokrasi liberal menitikberatkan pemilihan umum.

Al-Qur’an menyatakan, ”Dan orang-orang yang menerima seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS asy Syura 38)

Pemimpin di sebuah negara atau daerah yang terbaik adalah ditentukan dengan musyawarah. Musyawarah para ahli ilmu dan tokoh-tokoh masyarakat. Mereka lah yang lebih mengetahui siapa yang paling tepat untuk memimpin. Mereka akan melihat biografi dan keahlian calon-calon pemimpin yang dipilih. Dari situ dipilih yang terbaik.

Baca juga: Demokrasi Liberal vs Demokrasi Islam

Para ulama atau cendekiawan Islam telah merumuskan beberapa kriteria seorang yang layak dijadikan pemimpin. Diantaranya: saleh, dewasa, ‘inderanya lengkap’, mempunyai keahlian memimpin/manajemen, cerdas, mempunyai keahlian komunikasi dan lain-lain.

Makanya jangan heran ketika Gus Dur menjadi presiden, ‘beberapa ulama’ tidak setuju. Bukannya Gus Dur tidak cerdas, tapi karena Gus Dur tidak melihat (inderanya tidak lengkap). Sehingga akhirnya keputusan yang dibuat Gus Dur cenderung pada ‘bisikan orang yang disekitarnya’. Padahal syarat pemimpin adalah harus mandiri dalam pengambilan keputusan. Rakyat yang mengangkat pemimpinnya berharap sang pemimpin ‘selalu mengambil keputusan terbaik’ dalam setiap persoalan yang dihadapinya.

Tentu sebagai manusia, pemimpin mungkin kadang berbuat salah. Tapi dalam masalah-masalah yang krusial pemimpin tidak boleh berbuat salah. Misalnya pemihakan pemimpin ke sebuah negara yang dilanda perang. Pemimpin harus memihak kepada korban yang dizalimi, bukan yang menzalimi. Makanya jangan heran banyak tokoh Islam protes keras kepada mantan presiden Gus Dur ketika itu yang akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel.

Pemimpin harus shalih. Apa maknanya? Pemimpin yang banyak melakukan dosa besar akan membuat keputusan yang kacau. Karena ia sering menuruti nafsu pribadinya dan tidak bisa mengerem ‘nafsu syahwatnya’, maka nafsu marahnya pun tidak terkontrol. Seperti keputusan mantan presiden Soekarno yang mengatasi persoalan Darul Islam dengan memerangi mereka (menimbulkan korban ratusan/ribuan orang). Keputusan ini sebenarnya aneh. Soekarno tidak pernah angkat senjata melawan Belanda, kok kepada rakyatnya sendiri (Kartosoewiryo teman dekatnya) tega mengangkat senjata.

Nafsu dan ego pemimpin dalam kekuasaan juga bisa menyebabkan sang pemimpin tega untuk membunuh kawan dekatnya sendiri. Kalau Soekarno berfikir jernih, ia harusnya tidak membunuh Kartosoewiryo, karena jasa-jasa Karto cukup besar dalam kemerdekaan republik ini. Sikap Soekarno ini mirip dengan yang dilakukan mantan Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser kepada Sayid Qutb. Qutb adalah kawan dekat Nasser, tapi karena nafsu kekuasaan Nasser merasa terganggu dengan tulisan-tulisan Qutb maka Qutb dan kawan-kawannya dipancungnya dan organisasinya (Ikhwanul Muslimin) ‘dibubarkannya’.

Tapi begitulah sunnatullah kehidupan ini. Jenis ketemu jenis. Soekarno yang berfaham Marhaenisme (Marxisme ala Indonesia), berkawan akrab dengan tokoh-tokoh komunis (PKI). Dan kita tahu dalam komunis, tidak ada halal haram. Boleh atau tidak tergantung pada nafsu pribadi. Maka jangan heran Soekarno banyak melakukan hal yang buruk dalam pemerintahannya. Tentu ada hal yang baik yang dilakukan, tapi perbuatan buruknya menyebabkan bangsa ini ‘saling membunuh’. Yaitu ketika ia ‘membiarkan PKI’ melakukan pembunuhan pada Gerakan 30 September 1965.

Nafsu buruk Soekarno juga terlihat ketika ia mengadakan permusuhannya kepada Malaysia, Pengganyangan pada Malaysia.

1 2 3Laman berikutnya
Back to top button