NASIONAL

FPKS Beri Empat Catatan Kritis RUU P-KS

Jakarta (SI Online) – Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) DPR RI angkat bicara perihal penyusunan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). F-PKS yang diwakili oleh sebagai Pimpinan Panja RUU P-PKS Komisi VIII DPR RI Iskan Qolba Lubis memberikan beberapa catatan perubahan dalam naskah rancangannya.

“Berkaitan dengan pengambilan keputusan terhadap RUU Usul Inisiatif Anggota DPR-RI mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi RUU Usul DPR-RI, dengan memohon taufik Allah SWT dan mengucap Bismillahirrahmanirrahim, kami Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) menyatakan menyetujui dengan perubahan,” kata Iskan di Jakarta, Selasa (29/01/2019).

Fraksi PKS, ungkap Iskan, mengajukan empat poin perubahan yang dapat menjadi pertimbangan dalam pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tersebut. Perubahan pertama adalah pergantian nomenkaltur ‘kekerasan seksual’ menjadi ‘kejahatan seksual’.

“Perubahan ini bermaksud agar ada batasan yang tegas perihal unsur-unsur tidak pidana, kami beranggapan nomenklatur kejahatan seksual lebih sesuai untuk digunakan dibandingkan kekerasan seksual, pertimbangan selanjutnya untuk menjaga konsistensi penggunaan istilah yang digunakan dalam undang-undang yang menggambarkan objek yang sama,” ungkap Iskan.

Penggunaan nomenkaltur yang konsisten menurut Iskan menjadi penting agar RUU P-KS ini dapat berkorelasi dengan perundang-undangan lainnya. Hal ini, lanjut Iskan, juga untuk mendorong agar RUU tersebut dapat diaplikasikan secara menyeluruh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Penyusunan Undang-undang dimaksud harus dilakukan dengan mengedepankan asas kehati-hatian agar upaya penghapusan terhadap kejahatan seksual tidak hanya dirumuskan secara normatif, tetapi juga dapat diterapkan secara implementatif. Mengingat materi muatan yang dimaksud dalam Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kejahatan Seksual ini bersinggungan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, maka perlu dilakukan sinkronisasi misalnya dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,” tegas Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI ini.

Perubahan kedua yang diajukan oleh F-PKS adalah perubahan definisi dari kekerasan seksual itu sendiri. Iskan menuturkan definisi yang dirumuskan dalam RUU P-KS ini masih ambigu sehingga menimbulkan keraguan, kekaburan, dan ketidakjelasan.

“Ketidakejalasan definsi ini dalam kontruksi hukum sangat menyulitkan sehingga akan rawan kriminalisasi ke depannya. Dengan demikian, Fraksi PKS mengajukan usulan definisi menjadi sebagai berikut: “Kejahatan Seksual adalah setiap perbuatan seksual terhadap tubuh dan fungsi reproduksi, secara paksa, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, bahkan kehilangan nyawa,” tutur Iskan.

Perubahan ketiga yang disoroti oleh Fraksi PKS berkaitan dengan peran pemerintah untuk melakukan langkah-langkah preventif terhadap kejahatan seksual. Diantaranya menurut Iskan adalah dengan mewajibkan kepada pemerintah untuk memerangi pornografi, peredaran ilegal narkotika dan psikotropika, serta minuman keras sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pencegahan kejahatan seksual.

Terakhir, F-PKS mengajukan untuk menambahkan nilai “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi asas pertama dalam Rancangan Undang-undang tersebut.

“Ketaatan terhadap ajaran Agama yang dianut dapat menimbulkan kesadaran hakiki seseorang untuk senantiasa berbuat baik dan menghindari perbuatan-perbuatan yang merendahkan martabat seseorang karena dianggap sebagai perbuatan dosa. Hal ini sejalan pula dengan maksa filosofis Sila ke-2 Pancasila yang dijiwai oleh Sila ke-1. Oleh karena itu, FPKS mengusulkan asas Ketuhanan Yang Maha Esa dimasukan dalam Pasal 2 RUU,” tegasnya.

Secara pribadi Iskan menambahkan, kelemahan RUU P-KS ini adalah memberikan ruang bagi tindakan imoral selama dalam koridor tidak ada paksaan seperti perilaku zina, penyimpangan seksual dan aborsi.

“Kelemahan RUU P-KS memberi ruang bagi kebebasan perzinaan, perilaku dan penyimpangan seksual lain. Termasuk berpotensi melegalkan prostitusi dan aborsi selama tidak ada paksaan. Selain itu bentuk mengatur pakaian perempuan sebagai bagian dari moral akan dianggap kekerasan seksual. Ruh Indonesia harus masuk dalam RUU ini sehingga tidak ada tafsir harfiah yang tidak selaras nilai-nilai Indonesia,” papar dia.

red: adhila

Artikel Terkait

Back to top button