Kasihanilah Si Corona
Menyelundupkan pasal
Selasa (2/4) Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menkumham Yasona Laoly menyerahkan Rancangan Undang Undang (RUU) Perppu tersebut ke DPR.
Hampir dapat dipastikan DPR akan menyetujuinya. Perppu akan segera berlaku secara efektif. Tinggal ketok palu.
Selain tidak adanya oposisi yang kuat. Sudah menjadi rahasia umum, tangan-tangan oligarki menjangkau sangat jauh di parlemen. Mereka menempatkan pion-pionnya, sebagai proxy di gedung wakil rakyat.
Mencermati pasal demi pasal dalam Perppu No 1 Tahun 2020, PP dan Kepres Corona, koalisi masyarakat sipil, pegiat pemerintahan yang bersih, atau siapapun yang masih waras, hanya bisa geleng-geleng kepala.
Ada kesan kuat pemerintah memanfaatkan situasi krisis untuk memuluskan agenda terselubung. Menuai “berkah” di tengah musibah.
Ada pasal-pasal di RUU Omnibus Law yang diselundupkan dalam Perppu. Pasal yang lebih menguntungkan dunia usaha dan banyak ditolak.
Alokasi dananya juga tidak fokus pada pemberantasan virus. Tidak fokus pada penyelematan kesehatan.
Yang lebih memprihatinkan, ada pasal yang disiapkan secara cerdik, untuk mengamankan para pemegang otoritas dan kebijakan. Mereka tidak bisa dijerat hukum manakala terjadi penyimpangan.
Pasal penyesuaian tarif pajak penghasilan (PPh) wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT), yang semula masuk di RUU Omnibus Law, ditarik ke Perppu.
Pemerintah menurunkan tarif PPh badan dari 25% menjadi 22%. Kemudian turun lagi menjadi 20% pada tahun berikutnya.
Tarif ini berlaku mulai tahun ini, lebih cepat dari usulan awal yang dimasukkan dalam RUU Omnibus Law Perpajakan. Dalam rancangan Omnibus Law, penurunan baru akan dimulai pada 2021.
Sikap pemerintah sejak awal konsisten. Lebih mementingkan ekonomi, ketimbang keselamatan dan nyawa rakyat, juga terlihat dari alokasi anggaran yang disediakan.
Dari total Rp405, 1 triliun yang dianggarkan, hanya Rp75 triliun untuk bidang kesehatan. Meliputi perlindungan tenaga kesehatan, pembelian alat kesehatan, perbaikan fasilitas kesehatan, dan insentif dokter.
Yang terbesar justru anggaran untuk pemulihan ekonomi nasional Rp150 triliun. Rp70,1 stimulus perpajakan dan kredit usaha rakyat. Selebihnya sebesar Rp110 triliun untuk jaring pengaman sosial.
Akar penyebab persoalan, yakni sektor kesehatan hanya mendapat porsi 18.5%. Selebihnya digunakan untuk mengatasi dampaknya.
Sebagai konskuensi dari adanya anggaran baru tersebut pemerintah memperlebar defisit anggaran. Dari semula 3% menjadi 5.07%.
Apa artinya? Pemerintah leluasa menambah utang baru. Utang yang sudah menjadi lifestyle pemerintah.
Utang yang akan diwariskan pada pemerintahan berikutnya. Utang yang akan diwariskan kepada anak cucu kita.
Corona benar-benar menjadi dewa penyelamat bagi pemerintah. Jauh sebelum wabah melanda, Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah berkali-kali menyatakan defisit anggaran anggaran akan semakin melebar.
Pada bulan November 2019 Sri Mulyani sudah mengingatkan defisit anggaran akan mencapai 2 sampai 2.2%. Dalam APBN 2019 dipatok 1.87%.
Alasannya karena perlambatan ekonomi global dan melesetnya penerimaan pajak. Sekarang Corona yang menjadi alasan.
“Berkah” lain yang dituai oligarki, sebagian dari mereka akan segera bebas dari penjara. Menkumham Yasona Laoly mengusulkan narapidana lansia berusia di atas 60 tahun dibebaskan. Usulan itu sudah disetujui Presiden.
300 orang napi koruptor, bersiap-siap menghirup udara bebas. Banyak diantara mereka adalah politisi, petinggi negara, dan kroninya.
Kalau sudah begini, kita hanya bisa mengelus dada. Kasihan sekali kau Corona.
Di seluruh dunia menjadi musibah. Ditakuti, menjadi momok yang menakutkan.
Eh….di Indonesia malah menjadi blessing in disguise. “Berkah” yang tersembunyi bagi sekelompok oligarki.
Di hadapan oligarki, Corona mati gaya. Dia tidak bisa menggugat karena namanya dicemarkan.
Corona suatu saat akan mati. Oligarki tidak ada matinya.
Please….kasihanilah Corona. end
Hersubeno Arief
sumber: facebook hersubeno arief