Keputusasaan Meningkat di Kamp Pengungsi Rohingya
Dhaka (SI Online) – Keputusasaan meningkat di kamp-kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh karena keinginan para pengungsi untuk mendapatkan kewarganegaraan atau repatriasi damai dan bermartabat ke negara asal mereka tak kunjung terpenuhi.
Rahima Hatun, 30, bersama dengan puluhan ribu pengungsi lainnya, melarikan diri dari operasi brutal militer Myanmar di negara bagian Rakhine pada 25 Agustus 2017, dan berlindung di kamp-kamp pengungsi di negara tetangga, Bangladesh.
Hatun, bersama ketiga anak dan suaminya, kini tinggal di tenda darurat di kamp sempit di distrik selatan Cox’s Bazar, yang juga merupakan rumah bagi lebih dari satu juta pengungsi Rohingya.
“Rumah saya dibakar tentara Myanmar dan kami melarikan diri ke sini dengan harapan suatu hari nanti kami akan kembali ke kampung halaman kami dan membangun masa depan yang aman dan sejahtera bagi anak-anak kami. Namun, situasinya sekarang serba tak pasti,” tuturnya.
“Meskipun sudah tinggal di sini selama bertahun-tahun, kami masih diperlakukan sebagai orang tanpa kewarganegaraan, tanpa status pengungsi. Anak-anak kami tumbuh tanpa pendidikan. Masa depan kami suram,” tambah Hatun.
Pengungsi lainnya, Shamsun Nur, 35, mengungkapkan keinginannya untuk segera pulang ke Myanmar.
“Kami adalah manusia. Kami memiliki hak untuk tinggal di negara kami sendiri bersama anak-anak kami,” ujar Nur.
Pendiri Asosiasi Pemuda Rohingya yang berbasis di Bangladesh, Khin Maung, mengatakan mereka tidak akan pernah melupakan kekejaman militer Myanmar.
“Sejak 25 Agustus 2017, militer membunuh atau memperkosa sanak saudara kami, membakar rumah-rumah kami. Anak-anak dan lansia turut menjadi korban. Kami frustrasi di sini karena aktivis dan pembela HAM juga diancam,” ungkap Maung.
Menurut Maung, mereka telah menyiapkan 200 kaos yang akan mereka pakai selama Hari Peringatan Genosida Rohingya’ dengan dana mereka sendiri, tetapi polisi Bangladesh malah menangkap mereka pada Sabtu.
“Itu adalah pelanggaran hak asasi manusia,” tukas dia.