OPINI

Mengapa Penguasa Kesulitan Meneroriskan Munarman?

Para penguasa mengalami kesulitan besar untuk menteroriskan Munarman dan Front (baca: FPI, red) secara keseluruhan. Sudah dilakukan berbagai cara untuk mengaitkan mereka dengan kegiatan terorisme, tapi tidak juga dipercaya oleh publik.

Masyarakat melancarkan gempuran narasi yang melawan upaya para penguasa untuk melabelisasi Munarman dan Front sebagai pelaku teror. Bahkan, para vokalis non-muslim yang ‘seharusnya’ mendukung labelisasi teroris itu, balik menolak.

Ambil contoh Roy Pakpahan, seorang aktivis sekaligus pengacara. Roy marah Munarman disebut teroris. Begini kata Roy Pakpahan begitu mendengar Munarman ditangkap.

I stand with Maman. Teroris pala lu. gereja hkbp di Cinere tempat bapak sy beribadah awalnya tidak bisa berdiri. Orang takut beribadah. Maman bilang klu mmg srt ijin sudah ada dan lkp, ya bangun sj. Klu ada yg ganggu kabarin gue, kata Maman. Skrg gereja hkbp cinere, salah satu rumah ibadah terbesar di cinere.”

Baca juga:
Tak Percaya Munarman Teroris, Fadli Zon: Tuduhan Itu Bagian dari Islamofobia
Penangkapan Munarman, Kezaliman di Pertengahan Ramadhan
Wantim MUI: Penangkapan Munarman Sarat Makna Islamofobia

Ada lagi aktivis Katolik. Namanya Aloysius Hartono. Dalam tulisan bertanggal 29 April 2021 yang beredar di grup-grup WA, Aloysius mengatakan, “Walaupun eFPeI sudah sedemikian pasif, sudah tiarap sejak akhir Desember 2020 lalu, tetapi sebaliknya polisi justru semakin beringas untuk membunuh karakter eFPeI dengan narasi ‘teroris, IS1S, bom, dan sejenisnya.”

Banyak orang non-Muslim yang membela Munarman dan juga Front. Tak mungkin diuraikan satu per satu di sini. Mereka mengimbau agar cara-cara kotor terhadap Front dihentikan.

Di kalangan publik secara keseluruhan, kecuali segelintir orang yang anti-Islam dan Islamofobis, reaksi terhadap penangkapan Munarman juga sinis. Di media sosial (medsos), netizen mencibiri tindakan polisi menangkap pengacara H125 (baca: HRS, red) itu. Mereka pun mencecar habis penemuan “serbuk bom” ketika polisi menggeledah bekas kantor Front di Petamburan.

Ada beberapa hal yang menyebabkan publik tak percaya Munarman dan Front terkait teroris. Pertama, sejak awal berdiri hingga pembunuhan KM-50, tidak pernah ada tindakan Front yang berindikasi terorisme. Baru setelah ada masalah besar yang memojokkan Polri –dan juga lembaga keamanan lain— terkait pembunuhan 6 pengawal H125, 7 Desember 2020, muncullah tiba-tiba sejumlah peristiwa kekerasan yang terkesan sengaja dikaitkan dengan Front.

Kedua, publik sejak lama mengenal Front sebagai orgasinasi sosial yang sangat ringan tulang dengan aksi tanggap darurat ketika terjadi bencana alam di berbagai pelosok. Seringkali bantuan Front tiba paling duluan. Catatan ini menyebabkan publik sulit percaya ketika sekarang Munarman dan Front dikaitkan dengan tindakan terorisme.

Ketiga, pihak-pihak yang bernafsu mengaitkan Front, Munarman, dll, dengan aksi teror, sudah sangat terlambat. Seharusnya mereka lakukan belasan tahun yang lalu. Misalnya, ketika terjadi aksi ledakan bom besar di Bali, Jakarta, dan tempat-tempat lain. Kalau pada waktu itu “disusupkan” orang untuk mendemonisasi (menjelekkan) Front, ada kemungkinan sukses. Tetapi, itu pun belum tentu bisa. Karena memang Front, H125, Munarman tidak punya misi terorisme. Mereka memang keras dalam mencegah kemungkaran tetapi tidak dengan teror.

Jadi, masyarakat tidak percaya kalau orang-orang Front disebut teroris. Selama ini, aksi-aksi cegah dengan tangan tidak pernah mereka lakukan secara “coward” (pengecut). Mereka langsung menghadapi para pelanggar aturan secara jantan.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button