SUARA PEMBACA

MES Yes, Transaksi Dinar Dirham No?

Begitu juga dengan sektor keuangan sosial syariah, baik dari zakat maupun wakaf. BAZNAS memperkirakan potensi zakat mencapai Rp217 triliun per tahun. Untuk wakaf tanah mencapai 4,36 miliar meter persegi yang tersebar di 435.768 lokasi. Dan wakaf uang mencapai Rp2-3 triliun per tahun.

Data-data di atas menunjukkan bahwa potensi ekonomi dan keuangan syariah sangat tinggi. Karena pangsa pasarnya memang besar dan luas. Animo masyarakat pun sangat tinggi dalam bertransaksi dan berekonomi sesuai syariat. Sehingga pemerintah hari ini memandang ekonomi syariah seperti di atas sangat menggiurkan. Sangat ‘bermanfaat’ untuk sumber pendapatan Negara.

Syariat Islam yang menguntungkan dan menghasilkan pundi uang bagi Negara, diafirmasi dan di beri karpet merah. Tapi sayangnya syariat Islam lain, yang dianggap merugikan, tidak menghasilkan materi/keuntungan, atau menganggu kepentingan penguasa-pengusaha malah dikriminalisasi.

Buktinya kewajiban jilbab bagi siswa di sekolah umum dipersoalkan; pengajuan RUU Minuman Berakohol dihentikan; pelarangan ucapan selamat hari raya pada non muslim dianggap intoleran; usulan hukuman potong tangan bagi koruptor dipolemikkan; usulan penghentian pengelolaan SDA oleh tangan individu/korporasi swasta dianggap provokasi; penyuaraan penerapan syariat Islam kaffah dalam negara dianggap makar.

Termasuk kasus penggunaan mata uang dinar dan dirham, yang dianggap tidak legal di negeri ini. Dianggap akan merugikan rupiah dan sistem keuangan negara. Padahal sistem keuangan syaria’h mewajibkan dinar dan dirham sebagai mata uang. Dalilnya jelas diambil dari Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah Saw. Jadi bertransaksi menggunakan dinar dirham pun karena dorongan keimanan.

Sebenarnya masyarakat sendiri mengeluh tingginya inflasi mata uang rupiah. Nilai mata uangnya dari tahun ke tahun selalu terdepresiasi. Nilai tukar terhadap barang dan jasa lemah. Harga barang dan jasa terus naik. Sehingga membuat daya beli masyarakat menurun dan menggerus pendapatan.

Inflasi rupiah terkategori tinggi karena memang uang kertas (fiat money) yang berbasis sistem kepercayaan. Uang ini dicetak dengan mesin percetakan, diberi nominal angka tertentu, lalu dilegalkan oleh stempel pemerintah atau otoritas moneter negara. Jadi nilai nominal uang kertas tidak didukung oleh nilai yang bersifat melekat pada uang itu sendiri (nilai intrinsik). Berbeda dengan dinar dan dirham yang memiliki nilai intrinsik. Nilai uangnya stabil. Sehingga ketika dipraktikan dalam transaksi muamalah tidak menyebabkan kerugian finansial.

Negara menerapkan syariat Islam secara parsial. Menerapkan sebagian yang dianggap menguntungkan, menolak bahkan membuang sebagiannya yang dianggap merugikan. Ini adalah ciri khas negara sekuler kapitalistik. Standar diterapkan atau tidaknya syariat Islam adalah materi/kepentingan. Tidak dikaitkan pada ketaatan melaksanakan kewajiban dari Allah SWT dan pertanggungjawaban padaNya.

Sungguh miris hal ini terjadi di negeri yang mayoritas muslim. Karena diterapkan parsial, wajar tidak nampak keberkahan syariat Islam sebagai solusi permasalahan kehidupan. Wallahu a’lam bish-shawab.

Desti Ritdamaya
Praktisi Pendidikan

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button