SUARA PEMBACA

OTT Bupati di Awal Tahun, Menyibak Tabir Kapitalisme

Inilah wajah suram pencegahan dan pemberantasan korupsi di dalam sistem kapitalis. Setiap kebijakan yang dilahirkan hanya sebagai upaya tambal sulam, tanpa mampu mensolusikan secara menyeluruh. Sistem hari ini telah didesain untuk membentuk mental korup dan menyuburkannya. Sehingga satu-satunya solusi tuntas permasalahan ini adalah dengan mengubah sistem yang berlaku hari ini dengan sistem yang mampu memberikan solusi komprehensif, yakni sistem Islam.

Sejatinya Islam bukan hanya agama ritual semata, melainkan Islam juga merupakan suatu ideologi atau pandangan hidup yang mampu melahirkan aturan kehidupan berdasarkan apa-apa yang telah Allah tetapkan. Islam memiliki seperangkat aturan kehidupan untuk mencegah dan memberantas korupsi, baik dari sisi preventif maupun kuratif.

Dalam aspek aturan preventif Islam secara tegas melarang tindakan suap-menyuap dan mengambil harta yang bukan haknya, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits, “Rasulullah Saw melaknat orang yang menyuap, yang disuap, dan perantaranya (makelar). Nabi Saw mempekerjakan seorang laki-laki dari suku al-Azdiy sebagai pemungut zakat. Ketika datang dari tugasnya, dia berkata, ‘Ini untuk kalian sebagai zakat dan ini dihadiahkan untukku.’ Beliau berkata, ‘Biarkanlah dia tinggal di rumah ayahnya atau ibunya, lalu dia lihat apakah benar itu dihadiahkan untuknya atau tidak. Demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya, tidak seorang pun yang mengambil sesuatu dari zakat kecuali dia akan datang pada hari kiamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik.” (HR Bukhari).

Dalam hadits diatas tampak jelas bahwa Rasulullah mengharamkan seorang pegawai yang ia perintahkan memungut zakat untuk menerima hadiah, bahkan telah jelas pula ganjaran bagi pelakunya. Maka di dalam sistem Islam asas dari setiap perbuatan adalah idrak sillah billah, yaitu kesadaran akan hubungan manusia dengan Allah. Setiap tindakan manusia akan senatiasa diawasi langsung oleh Allah, tentunya hal ini sangat meminimalisir lahirnya perilaku korup.

Selain itu dalam pemerintahan yang menerapkan sistem Islam, para pejabat negara jauh dari orientasi “balik modal” karena tidak ada biaya politik yang harus dikeluarkan. Setiap jabatan baik di dalam ataupun di luar pemerintahan merupakan suatu bentuk amanah yang kelak dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Sehingga hal ini menjadi kontrol utama dari setiap perilaku para pejabat negara. Seorang khalifah juga diberi wewenang untuk menerapkan kebijakan pengawasan, sebagaimana yang terjadi pada masa khalifah Umar bin Khattab yakni penghitungan harta kekayaan para pejabat secara rutin. Jika terdapat penimbunan kekayaan ataupun indikasi harta yang tidak wajar, maka negara berhak mengadili hingga melakukan penyitaan harta tersebut dan dikembalikan ke Baitul Mal yang pengelolaannya untuk kemaslahatan masyarakat.

Sedangkan aturan dari sisi kuratif dilakukan dengan pemberlakuan sistem uqubat (persanksian) dengan hukuman pidana yang tegas, sehingga melahirkan efek jera bagi setiap pelakunya. Sistem sanksi untuk perkara korupsi berupa ta’zir yang penetapannya berdasarkan ijtihad seorang khalifah. Para koruptor akan dikenai hukuman ta’zir berupa tasyhir, atau pemberitaan atas tindakannya sehingga seluruh masyarakat akan mengetahuinya. Selain itu juga dilakukan penyitaan harta, pengasingan, hukuman penjara, hingga hukuman mati. Tentunya hal ini akan meningkatkan efek jera baik bagi para pelaku ataupun bagi masyarakat secara keseluruhan. Hadanallah waiyyakum, wallahu a’lam bishawwab.

Asyifa’un Nisa, Pegiat Literasi dan Mahasiswi Pascasarjana.

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button