Usulkan Referendum, HNW: Perpindahan Ibu Kota Harus Libatkan Rakyat
Jakarta (SI Online) – Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid menilai bahwa pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) merupakan suatu hal yang sangat krusial, menyangkut eksistensi dan masa depan seluruh warga bangsa Indonesia, bukan hanya terkait dengan sebagian elite politik di Jakarta.
Dengan demikian, kata Hidayat, sudah sewajarnya bila dalam proses pembuatan dan pengujian keputusannya juga melibatkan sebanyak-banyaknya komponen rakyat Indonesia, melalui salah satu caranya adalah referendum (jajak pendapat) rakyat Indonesia sebagai wujud nyata membuka peluang partisipasi masyarakat seluas-luasnya, sebagaimana ketentuan dasarnya jelas tercantum dalam UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagaimana diubah dengan UU no 15/2019, pasal 96.
“Saya menyayangkan RUU yang membahas soal Ibu Kota Negara yang disetujui oleh Pemerintah dan DPR, tetapi dalam proses pembahasannya belum membuka partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya sebagaimana diatur dalam UU. Terbukti banyak kritikan dari para pakar dan tokoh senior seperti Prof. Emil Salim, Rizal Ramli, Didiek J Rachbini, juga dari Walhi, IAI, dan penolakan dari masyarakat pasca RUU tersebut disetujui,” kata Hidayat melalui pernyataan tertulisnya kepada Suara Islam Online, Rabu (19/1/2022).
Bahkan, kata Hidayat, baru satu hari UU tersebut diketok palu di DPR, tapi dari Kalimantan Timur, provinsi keberadaan dari IKN baru, warga menyuarakan Koalisi Masyarakat Kaltim yang terdiri dari Walhi Kaltim, LBH Samarinda dan Jatam Kaltim, yang menyatakan penolakan terhadap UU IKN, karena merasa tidak mendapatkan sosialisasi yang cukup maupun akses untuk bisa berpartisipasi sebagaimana hak itu diberikan oleh UU.
“Wajar mereka menyampaikan sikapnya termasuk bila masyarakat akan melakukan referendum, yang tentu saja referendum yang dimaksud di sini adalah referendum yang pengertiannya disebut dalam KBBI, yang sesuai dengan UU No. 15/2019 pasal 96. Dan referendum jenis itu bukanlah referendum untuk ubah UUD, karena referendum jenis itu sudah dihapuskan oleh TAP MPR No. VIII/1998, dan UU No. 5/1985,” ujarnya.
Sebagai informasi, usulan referendum ini disampaikan Hidayat dalam Public Expose RUU IKN yang diselenggarakan oleh Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI, Selasa (18/01).
Menurutnya, diberlakukannya referendum tersebut dinilai penting juga karena alasan yang lain, yaitu untuk menjawab permintaan izin dari Presiden Jokowi. Diketahui umum, bahwa Presiden Joko Widodo pernah meminta izin kepada Rakyat Indonesia (bukan sekadar wakil Rakyat Indonesia) untuk memindahkan ibu kota. Permintaan izin itu disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam pidato kenegaraan di MPR.
Faktanya, kata Hidayat, setelah permohonan izin tersebut hingga disahkannya UU oleh DPR, sekalipun ditolak oleh PKS, belum ada jawaban dari Rakyat Indonesia, apakah mengizinkan atau belum mengizinkan. Nah hal ini perlu dipastikan juga, baik secara etika (menjawab permohonan izin), maupun demokrasi konstitusional dimana UUDNRI 1945 (pasal 1 ayat 2) yang dengan jelas menyebutkan bahwa kedaulatan ada di tangan Rakyat.
HNW sapaan akrabnya mengatakan bahwa upaya meminta jawaban atau pandangan dari rakyat Indonesia dapat membuat keputusan memindahkan atau tidak memindahkan ibu kota negara semakin memenuhi tata krama dan memiliki legitimasi.
“Ini wajar dilakukan, agar suatu kebijakan sekelas pemindahan Ibu Kota Negara yang menyangkut seluruh warga negara itu, bisa berlaku dengan elegan, karena rakyat telah dihormati haknya, dan secara “legowo” telah menyampaikan pendapatnya. Sehingga apabila ditolak oleh mayoritas rakyat, dan apalagi bila MK mengabulkan judicial review soal IKN ini, maka seharusnya Pemerintah dan DPR secara legowo, mengkoreksi dan tidak melanjutkannya,” ujarnya.