OPINI

Wajah ‘Beringas’ di Balik Konflik Wadas

Selanjutnya Gubernur Jawa Tengah mengeluarkan Keputusan No.590/41 tahun 2018 tentang Persetujuan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo. Izin Penetapan Lokasi (IPL) ini sudah diperpanjang sekali dan akan berakhir pada 5 Juni mendatang. (projectmultatuli.org, 24/5/2021)

Menurut Kepala Divisi Advokasi LBH Yogyakarta, Julian Duwi Prasetia, absennya catatan penolakan warga terhadap penambangan di  Wadas dalam Amdal Bendungan Bener sangat memprihatinkan. Menurutnya, Amdal tersebut cacat substansial dan prosedur. Proses pelibatan masyarakat di Desa Wadas untuk menyusun Amdal Bendungan Wadas tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup RI No.17/2012 tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan.

Belakangan diketahui, pertambangan andesit di wilayah Desa Wedas itu belum memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari pemerintah pusat. Dalam keterangannya, warga tidak menentang proyek Bendungannya, tetapi penambangan andesit yang ada di desa mereka. Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto, meminta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tidak menerbitkan izin usaha pertambangan (IUP) di Desa Wadas.

Jargon “Untuk Rakyat” di Balik Wadas

Banyak pihak menyayangkan represifnya aparat terhadap warga. Haruskah aspirasi warga terbungkam hanya karena mereka menuntut hak tanah dan sumber kehidupannya? Mencermati hal tersebut, konflik Wadas mengonfirmasi beberapa hal berikut:

Pertama, pilar kebebasan berpendapat dalam sistem demokrasi seperti tong kosong nyaring bunyinya. Aspirasi warga tidak berarti apa-apa bagi para oligarki kekuasaan. Warga menolak, aparat yang bertindak. Warga mengecam, negara membungkam. Warga mengkritik, penguasa menampik. Seperti itulah realitas “kebebasan berpendapat” dalam demokrasi. Proyek tetap berlanjut meski rakyat bersikeras menolak. Suara rakyat yang katanya “suara Tuhan” nyatanya kalah dengan kepentingan pemegang kekuasaan.

Kedua, di alam kapitalisme, kaya SDA tidak selalu membawa berkah. Sebab, keberkahan itu hilang dengan sikap rakus dan beringasnya manusia dalam mengeksploitasi alam. Keseimbangan alam terancam akibat kebijakan kapitalistik. Untuk apa bergegas membangun bendungan jika pada akhirnya akmerenggut sumber kehidupan warga yang bergantung pada ketersediaan alam? Eksploitasi potensi alam yang tidak mengindahkan dampak buruk bagi makhluk hidup di sekitarnya, bukankah itu wujud keserakahan tiada batas?

Tidak jarang kita jumpa, banyak kasus wilayah dengan kekayaan alam berlimpah bagai kutukan bagi makhluk yang mendiaminya. Alamnya dikeruk, tetapi kehidupan masyarakatnya masih tidak sejahtera. Itulah yang menjadi kekhawatiran warga Wadas. Ganti untung sekalipun tidak akan sepadan dengan pertanian dan perkebunan yang menjadi napas kehidupan mereka.

Kepala Satuan Kerja Non Vertikal Tertentu (SNVT) Pembangunan Bendungan, BBWSSO, Tampang mengklaim penambangan quarry tidak menyebabkan dampak negatif seperti tanah longsor dan hilangnya mata air. Semua ada cara untuk mengatasinya. (projectmaprojectmultatuli.org, 24/5/2021).

Pertanyaannya, benarkah semudah itu tidak berdampak buruk di tengah kebijakan yang serba kapitalistik dan individualistik? Klaim tersebut ibarat pemanis dan pereda nyeri sesaat. Di atas kertas tampak indah dan optimis. Namun, di sistem kapitalisme, keuntungan besar dengan modal seminimal mungkin tetaplah menjadi rumus baku bagi para kapitalis. Dampak negatif diurus belakangan. Yang penting proyek dsn investasi berjalan lancar.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button