SUARA PEMBACA

Balada Negeri Demokrasi: Penista Dibela, Pembela Islam Dikriminalisasi

Ilustrasi: Aksi umat Islam menuntut penangkapan Sukmawati di Gedung Bareskrim Mabes Polri, Jumat 06/04/2018.

“Setiap ada kasus penodaan agama selalu minta maaf, dan umat Islam selalu dituntut memaafkan. Tetapi ketika ada tokoh Islam yang memperingatkan bahaya PKI seperti Ustaz Alfian Tanjung itu langsung ditangkap, tidak ada kata damai, hukum harus ditegakkan katanya. Giliran penista agama minta damai,”

(Orasi Wakil Ketua Umum DPP Front Pembela Islam (FPI) KH Ja’far Shadiq pada Aksi Bela Islam 64, suara-islam.com, 06/04/2018)

Ribuan kaum muslimin menghadiri aksi damai di depan Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Pusat pada Jumat, 06/04/2018. Aksi Bela Islam 64 yang diprakasai Persaudaraan Alumni 212 tersebut menuntut penangkapan dan pemidanaan Sukmawati Soekarnoputri karena kasus dugaan penodaan agama.

Seperti diketahui sebelumnya puisi berjudul “Ibu Indonesia” karya Sukmawati menimbulkan polemik di masyarakat dan linimasa. Puisi yang dibaca saat acara peragaan busana “Sekarayu Sriwedari” untuk memperingati 29 tahun perancang Anne Avantie berkarya di Indonesia Fashion Week, 29 Maret lalu tersebut mengandung kata-kata yang melecehkan syariat Islam, cadar dan azan (tirto.id, 06/04/2018).

Dikutip dari tempo.co, 06/04/2018, menurut perwakilan Persaudaraan Alumni (PA) 212 Slamet Maarif menyatakan sudah memaafkan Sukmawati terkait dengan puisinya yang mereka nilai menghina agama Islam. “Maaf boleh, tapi penegakan hukum harus tetap berjalan,” ujarnya saat audiensi bersama Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI.

Tercatat ada 14 laporan polisi dari anggota ormas Islam hingga lembaga bantuan hukum (LBH) kepada Sukmawati atas dugaan tindak pidana penodaan agama karena puisi yang dibacakannya (cnnindonesia.com, 06/04/2018).

Berbeda sikap dengan 14 pelapor tersebut, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin justru mengimbau kepada semua pihak yang merasa tersinggung terhadap puisi Sukmawati untuk memberikan pintu maaf dan tidak perlu membawa perbedaan langsung di ranah hukum. “Jadi kita saling memaafkan lah, menurut hemat saya tidak semua persoalan perbedaan di antara kita, lalu kemudian mudah sekali dibawa ke proses hukum, kan masyarakat kita penuh kekeluargaan, saling toleransi, saling menghormati dan menghargai,” ujar Lukman (tribunnews.com, 04/04/2018).

Hal senada juga keluar dari Ketua MUI  KH. Ma’ruf Amin yang mengatakan MUI bisa memaklumi permohonan maaf Sukmawati dan mengajak semua umat Islam untuk juga menerima permohonan maaf itu. “Kalau bisa menghentikan upaya di pengadilan, Bareskrim. Dan kita kembali membangun keutuhan bangsa dan negara,” kata KH. Ma’ruf Amin (bbc.com, 05/04/2018).

Ada apa dengan para penguasa di negeri ini. Seolah-olah membela dan melindungi penista agama. Kontras dengan sikap sebagian besar kaum muslimin yang menuntut agar Sukmawati dihukum dan diadili.

Benarlah apa yang disampaikan oleh Wakil Ketua Umum DPP Front Pembela Islam (FPI) KH Ja’far Shadiq dalam orasinya pada Aksi Bela Islam 64 bahwa ketika ada kasus penodaan agama, umat Islam dituntut untuk memaafkan sementara ketika ada tokoh Islam yang memperingatkan bahaya PKI seperti Ustaz Alfian Tanjung langsung ditangkap dan diproses hukum.

Itulah fakta yang terjadi hari ini, satu penghina dan penista agama berada di balik jeruji besi. Dua tiga empat lima berakhir di atas materai, sementara yang lain meminta maaf tanpa kasusnya selesai diusut pihak berwenang. Kasus Ernest Prakasa, Ge Pamungkas dan Joshua seperti hilang tak berbekas. Dan sampai hari ini Ade Armando pun masih bebas berkeliaran dengan terus membuat kicauan yang melecehkan Islam dan umatnya.

Berbeda sikap menyolok menimpa para aktivis dan pegiat media sosial Islam seperti Ustaz Alfian Tanjung, Jonru Ginting dan Asma Dewi. Mereka ditangkap dan diproses hukum hanya karena mengkritisi rezim zalim dan menyampaikan bahaya PKI yang mengancam negeri ini. Sungguh tampak hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Bukan hanya itu saja penistaan terhadap Islam seolah-olah dianggap permasalahan sepele yang tak perlu dibesar-besarkan.

Inilah balada di negeri yang katanya mengagung-agungkan demokrasi. Tapi faktanya kaum muslimin senantiasa menjadi korban standar ganda ala demokrasi. Penista dan penghina Islam seolah-olah dilindungi, sementara ulama, ajaran Islam dan kaum muslimin dikriminalisasi dan dipersekusi.

Mau sampai terus begini? Maka jangan salahkan umat jika bereaksi, menuntut keadilan hakikih. Karena bagi seorang muslim sejati, tak mengapa jika diri ini dibenci, dicaci maki, dan dilempari kerikil. Lebih baik hati dan tubuh ini luka dan perih bahkan mati, dari pada DinulLah dinista dan dicaci maki. Sungguh tiada kemuliaan hakikih selain hidup dan mati menjadi pejuang dan pembela Islam sejati.

Tapi selama sistem jahiliah sekularisme yang melahirkan demokrasi  masih mencengkeram negeri ini. Rasanya sulit melepaskan diri dari tirani rezim zalim yang berbuat tak adil terhadap Islam dan umatnya. Penistaan dan penghinaan terhadap Islam akan terus terjadi dan dianggap biasa. Sementara ketika kaum muslimin memperjuangkan Islam lewat dakwah, mengritisi berbagai kebijakan rezim yang menzalimi rakyat serta mengingatkan penguasa atas bahaya komunisme dianggap mengganggu negara, kemudian dikriminalisasi dan dipersekusi.

Maka tak pelak lagi urgensi penerapan Islam kaaffah tak dapat ditawar tawar lagi. Karena umat membutuhkan sebuah perisai yang melindungi umat dari buruknya hinaan orang orang yang hina. Menegakan keadilan di tengah umat manusia tanpa memandang agama, suku mau pun ras. Serta membebaskan umat dari belenggu sistem jahiliyah. Perisai itu tidak lain adalah khilafah rasyidah ‘ala minhajin nubuwwah. Insyaallah. Wallahu’alam bishshawwab.

Ummu Naflah
Penulis Bela Islam, Member di Akademi Menulis Kreatif

Artikel Terkait

Back to top button