OPINI

Bukannya Waspada, Malah Nuduh Sakit Jiwa

Adalah Luhut Panjaitan yang menuduh sakit jiwa orang yang mengaitkan gerakan perlawanan rakyat Sri Lanka dengan keadaan Indonesia. Ia menepis dengan dalih bahwa keadaan tidak sama. Seharusnya Luhut menghargai siapapun yang meminta pemimpin Indonesia untuk waspada agar tidak bernasib sama. Luhut terlalu berlebihan menganggap pengelolaan negara sudah baik dan tidak mungkin seperti Sri Lanka.

Masalah yang dihadapi rakyat Sri Lanka relatif sama dengan rakyat Indonesia. Harga bahan pokok naik dan naik, enerji seperti BBM melesat setiap saat, pinjaman luar negeri gede pisan, investasi infrastruktur juga berbasis hutang. Debt trap China. Korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela, perilaku dan gaya hidup pejabat yang kontradiksi dengan keadaan rakyatnya. Dominasi kekuasaan Presiden dan oligarki.

Megawati Soekarnoputri Ketum PDIP mengingatkan kekhawatiran Indonesia dapat seperti Sri Lanka, karenanya perlu antisipasi atas krisis pangan dan resesi akibat inflasi dunia. Peringatan yang wajar dalam merespon perkembangan global termasuk dinamika politik akibat kondisi ekonomi di Sri Lanka. Rakyat marah kepada Pemerintah atas beratnya beban kehidupan.

Pengamat Kebijakan Publik Achmad Nur Hidayat minta agar Pemerintah adil dan fair dalam menyikapi perkembangan Sri Lanka. Indonesia dan Sri Lanka memiliki trajektori yang sama. Perkembangan tax ratio terhadap PDB yang turun terus menerus. Debt Service Ratio (DSR) Sri Lanka itu 39,3 persen dan Indonesia 36,7 persen. Ini yang harus diwaspadai.

Tuduhan sompral Luhut soal sakit jiwa tentu tidak pantas. Sebagai Menteri semestinya introspeksi dan korektif atas pandangan kritis. Terlalu percaya diri bahwa Indonesia baik-baik saja membuat sikap arogan. Apalagi nantang-nantang segala. Indonesia ini sedang mengalami krisis kepercayaan pada pemimpin. Akibat pemimpin yang tidak amanah dan salah urus dalam mengelola negara.

Negara pimpinan Pak Jokowi dan Pak Luhut ini kini sedang tidak baik baik saja. Investasi ambrol, hutang luar negeri ambyar, penegakkan hukum amburadul, demokrasi awut-awutan, moralitas dekaden, kesenjangan menganga, dan KKN merajalela. Para menteri jalan sendiri-sendiri. Presiden sendirian berjalan. Di pinggir rel, di sawah, di hutan dan di lokasi bencana.

Pak Luhut yang percaya diri, dulu Soekarno merasa kuat dan keadaan baik-baik saja. Ia mampu membubarkan Masyumi dan memenjarakan pengkritiknya. Tangan kiri menggenggam PKI tangan kanan memegang TNI. Politik keseimbangan mampu ia mainkan. Soekarno dan kabinetnya jumawa. Nah jatuh juga pak. Kepercayaan berlebihan pada PKI justru merontokkannya. Rakyat muak pada penguasa otoriter.

Pak Luhut yang percaya diri, dulu Soeharto juga sedang berjaya dan baru medapatkan kursi Presiden untuk ke sekian kali. Golkar di tangan kiri TNI di tangan kanan. MPR dan DPR dikuasai. Ekonomi tidak buruk sekali. Indonesia tidak bangkrut. Tapi jatuh juga, pak. Rakyat sudah tidak percaya lagi.

Soeharto dan Soekarno itu tokoh kuat. Berbeda dengan Pak Jokowi yang tidak sekuat keduanya. Lebih mudah jatuh. Nah pak Luhut, jangan abaikan perkembangan global apakah Rusia Ukraina, China Amerika atau lainnya. Juga Sri Lanka yang terjebak oleh China. Makanya waspadai China, pak.

Meski tidak perlu membalas bahwa Pak Luhut sakit jiwa, tetapi menuduh mereka yang mengingatkan kewaspadaan akan peristiwa Sri Lanka sebagai orang sakit jiwa adalah kesombongan. Luhut Panjaitan itu Menteri saat ini, tapi esok bukan siapa-siapa.

Rajapaksa itu Presiden dan Wickremesinghe adalah Perdana Menteri, tetapi setelah rakyat marah maka Rajapaksa dipaksa kabur dan Wickremesinghe dibakar rumahnya. Keduanya menjadi bukan siapa-siapa.

Jokowi dan Luhut kini berkuasa, besok juga bukan siapa-siapa. Salah-salah turun dari singgasana dengan terhina. Sri Lanka memberi peringatan. Mengabaikan sama dengan sakit jiwa. []

M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 20 Juli 2022

Artikel Terkait

Back to top button