SUARA PEMBACA

Produk Demokrasi: Watak Anti Koreksi

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dikejutkan dengan kabar yang belakangan ini beredar. Yakni aksi premanisme yang dilakukan oleh sekelompok massa dari PDIP Bogor. Mereka mengamuk dan menggeruduk Kantor Radar Bogor pada Rabu 30 Mei 2018 lalu. Bahkan, ulah mereka hingga memukul staf dan merusak properti kantor. Aksi kekerasan yang dilakukan oleh kader PDIP ini berawal dari reaksi keberatannya atas headline Radar Bogor yang berjudul “Ongkang-ongkang Kaki Dapat Rp112 Juta”.

Direktur eksekutif LBH Pers, Nawawi Bahrudin pun mengecam tindakan tersebut. Ia mengatakan hal itu merupakan pelanggaran hukum yang dapat dikategorikan perbuatan pidana yang sangat mengancam demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia. Lebih jauh lagi, sikap tersebut sangat bertentangan dengan Pancasila yang notabene Ketua Umumnya adalah sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) (Republika.co.id/31/05/2018).

Tentunya hal ini justru merusak citra demokrasi sendiri yang menjamin kebebasan individu dan khususnya pada kasus ini ialah insan pers dalam menyuarakan pendapatnya. Bentuk kritik tajam yang sejatinya merupakan cambuk bagi para pemegang tampuk kekuasaan, agar mereka menimbang kembali kebijakannya selaraskah dengan suara rakyatnya.

Standar ganda, itulah yang terjadi di tanah air tercinta kita ini. Dimana kebebasan kritik gencar dilakukan oleh rezim demokrasi dan ditujukan bagi sesuatu yang dianggap musuh oleh mereka. Tak hanya kritik, tapi berbagai makar dan fitnah digencarkan bertubi-tubi. Dimana ajaran Islam serta ulama dan ormas yang aktif menyuarakannya dipersekusi dan diklaim sepihak tak sejalan dengan Pancasila.

Sedangkan disisi lain, kritik terhadap berbagai kebijakan dan solusi brilian yang ditawarkan oleh rakyat malah dianggap sebagai ancaman. Karena dalam hal ini mereka tak ingin kepentingannya atas supremasi yang mereka miliki terusik. Mereka tak butuh solusi, hanya kekuasaan yang menjadi ambisi.

Lain padang lain ilalang. Dalam demokrasi, kekuasaan akan selalu berkawan dengan pencitraan. Berbeda halnya dengan sistem Islam, dimana kekuasaan merupakan amanah yang amat berat dipikul. Karena mereka memahami bahwa ada bentuk pertanggungjawaban sekecil apapun saat berhadapan dengan Allah Swt kelak.

Mengingat seorang pemimpin juga merupakan manusia biasa yang tak luput dari khilaf. Maka, pemimpin dalam Islam justru sangat haus akan kritik dan saran atas kebijakannya. Membuka ruang koreksi seluas-luasnya. Menerima dengan lapang dada jika memang koreksi yang disampaikan benar-benar meluruskan kesalahannya.

Berbagai saran, kritik dan tuntutan tak akan dianggap sebagai sebuah penghinaan yang menghancurkan figur kehormatan. Islam sebagai aturan hidup manusia ketika diterapkan seluruh hukumnya telah menorehkan sejarah cermin karakter mulia seorang pemimpin. Para sahabat di masa itu sering mengritik para khalifah secara terbuka.

Bilal bin Rabbah pernah mengritik khalifah Umar bin Khattab karena tidak membagi tanah syam kepada para mujahidin dan akan mengambil tanah itu dengan pedang. Hukum yang ditimpakan khalifah Ali bin Abi Thalib kepada kaum Zindiq pun dikritik oleh Ibnu Abbas RA. Ia mengingatkan sabda Nabi Muhammad Saw: “Janganlah kamu menyiksa dengan siksaan Allah (api)” maka bunuhlah dengan cara selainnya. Bahkan, Hamzah bin Abdul Muthalib mendapat gelar pemimpin para syuhada ketika terbunuh saat mengoreksi kepemimpinan seorang imam yang zhalim.

Menasehati atau mengritik pemimpin merupakan ibadah yang sangat mulia. Bahkan Nabi Muhammad Saw ketika ditanya jihad apa yang paling utama? Beliau menjawab, “Kalimat yang benar yang disampaikan di sisi pemimpin yang zhalim.” (HR. Imam Nasai, Ibnu Majah).

Islam menjadikan pemimpin membutuhkan kritik dan nasehat agar kepemimpinannya tersebut terhindar dari perbuatan yang tidak adil dan zhalim. Ketika melaksanakan amanahnya, ia mengurus dan menyejahterakan rakyatnya bukanlah sebagai pencitraan untuk mendapatkan simpati rakyat atau melanggengkan kekuasannya. Namun semata-mata ikhlas sebagai bentuk tanggung jawab dan kewajibannya.

Maka, sudah sewajarnya seorang pemimpin senantiasa membutuhkan kritik dari rakyatnya agar menjalankan amanahnya dengan hati-hati. Inilah karakter seorang pemimpin sejati yang hanya bisa lahir ketika Islam diterapkan menjadi sistem kehidupan. Tinta sejarah pun telah mengabadikan para pemimpin amanah tersebut yang lahir dalam kegemilangan masa peradaban Islam. Wallahu al’am bi ashshawab.

Novita Sari Gunawan
(Aktivis Akademi Menulis Kreatif)

Artikel Terkait

Back to top button