Wakil Ketua MPR: Batalkan Kenaikan Harga BBM
Jakarta (SI Online) – Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid menolak tetap dinaikkannya harga BBM bersubsidi sementara bansos alih-subsidi bahan bakar minyak berpotensi tidak akurat, di mana jumlahnya tidak hanya 1, 2, 3 seperti yang diakui Presiden Jokowi (3/9).
HNW sapaan akrabnya menghitung penerima bansos yang belum jelas datanya dan rawan tidak tepat sasaran berjumlah 1,85an juta keluarga, sebagaimana dipahami dari pernyataan pers Mensos (3/9), dan itu semua jadi bukti indikasi dini tidak tepatnya sasaran bansos sebagai pengalihan dari subsidi untuk BBM.
“Presiden Jokowi sendiri yang pernah menjamin tidak ada kenaikan harga BBM hingga akhir tahun, mengakui bahwa bansos alih-subsidi BBM tidak akan sepenuhnya tepat sasaran. Jika demikian dan di era di mana harga minyak dunia sedang turun, pemerintah Malaysia juga turunkan harga BBM, maka sebaiknya janji jaminan tidak menaikkan harga BBM itu yang dipenuhi, sekaligus dengan serius memperbaiki data yang berhak menerima Bansos reguler karena selalu jadi temuan dari BPK. Tidak justru begitu saja meloncat dengan keputusan baru subsidi BBM dialihkan menjadi bansos. Karena dampak dari kenaikan BBM akan memunculkan masalah-masalah sosial dan inflasi serta lonjakan angka kemiskinan yang lebih besar dari dampak singkat pertahanan daya beli dengan pemberian bansos pengalihan subsidi BBM tersebut,” disampaikan Hidayat dalam keterangan tertulisnya kepada Suara Islam, Ahad (4/9/2022).
Hidayat yang merupakan Anggota DPR-RI Komisi VIII yang antara lain membidangi isu-isu sosial ini menjelaskan, selain sudah disampaikan Presiden, ketidaktepatan sasaran penerima bansos akibat ketidakakuratan semakin terlihat nyata dari penjelasan Menteri Sosial Tri Rismaharini.
Dalam konferensi persnya (3/9), Mensos menyampaikan terbuka adanya data 18.486.756 keluarga penerima manfaat (KPM) yang sudah siap salur, sementara sisanya yakni 313.244 masih dalam proses cleansing atau pembersihan data.
Kedua data tersebut jika ditotal baru berjumlah 18,8 juta KPM, jauh lebih rendah dari total penerima yang berhak dan sudah diumumkan Presiden Jokowi yaitu sebanyak 20,65 juta KPM. Jadi ada lebih dari 1.85 juta data yang tak jelas statusnya dan ketepatan sasarannya, yang potensial kembali jadi temuan BPK, dan tidak efektif menjadi solusi atas dinaikkannya harga BBM bersubsidi.
“Lantas data dan alokasi 1,85an juta KPM sisanya Bu Mensos mengambil dari mana? Apalagi hal keganjilan seperti ini juga tidak pernah dibahas apalagi disetujui oleh Komisi VIII DPR-RI. Ini berbahaya dan bisa jadi temuan KPK, jika tiba-tiba masuk data siluman atau data yang diada-adakan, hanya demi pencitraan Pemerintah yang seolah-olah peduli pada masyarakat yang sedang kesulitan atas kenaikan harga BBM, tapi hakikatnya malah makin menyusahkan Rakyat. Kami tidak ingin terulangnya kasus Mensos yang ditangkap KPK karena terjadinya korupsi Bansos,” sambungnya.
Wakil Ketua Majelis Syura PKS ini mengingatkan, selain 1,85an juta data KPM yang tidak jelas sumbernya, 18,8 juta data yang dinyatakan sudah siap salur dan sedang dibersihkan tersebut bersumber dari data penerima program reguler yakni BPNT dan PKH.
Nahasnya, data kedua program tersebut konsisten bermasalah. Yang terbaru misalnya pada Juni 2022 Badan Pemeriksa Keuangan mengungkapkan kesalahan penyaluran pada program-program tersebut mengakibatkan kerugian negara hingga Rp6,9 Triliun.
“Klaim Mensos bahwa 18,8 juta sudah siap salur juga patut dibuktikan ketepatannya. Pasalnya data-data seperti ini selama ini selalu ditemukan penyimpangan, mulai dari masih dicantumkannya warga yang sudah meninggal tapi masih masuk data, tidak tercantum datanya di DTKS, NIK invalid, KPM sudah non-aktif tapi masih diberikan, dan banyaknya penerima ganda,” lanjutnya.
Seperti disampaikan Presiden, bantuan langsung tunai alih-subsidi BBM memakan anggaran Rp12,4 Triliun yang diberikan kepada 20,65 juta keluarga dengan besaran Rp150 ribu per bulan selama empat bulan. Bansos tersebut merupakan bagian dari skema anggaran alih-subsidi BBM sebesar Rp24,17 triliun.