#Lawan IslamofobiaLAPORAN KHUSUS

Radikalisme Ala Menteri Fachrul Razi

Radikalisme ASN

Setelah soal cadar dan celana cingkrang, Kemenag bersama sejumlah kementerian dan lembaga negara malah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Penanganan Radikalisme ASN pada 12 November lalu. Enam Kementerian dan lima lembaga menandatangani SKB itu, maka disebut SKB 11 Menteri. Untuk melaksanakan SKB ini, kata Menag, segera dibentuk Tim Satgas Pelaksana yang berasal dari lintas kementerian/lembaga.

11 K/L itu adalah Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Intelijen Negara, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).

Pada saat bersamaan, Pemerintah melalui Kementerian Kominfo juga meluncurkan portal aduanasn.id, yang membuka kesempatan pada masyarakat untuk melaporkan ASN (Aparatur Sipil Negara) yang dianggap terpapar radikalisme.

Menurut SKB 11 Menteri ini seorang ASN dapat disebut radikal apabila memenuhi salah satu dari 11 kritera yang telah ditetapkan.

Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 Fadli Zon mengritik tajam SKB 11 Menteri ini. Menurut Fadli, SKB ini adalah bukti nyata kian mundurnya demokrasi di era Presiden Joko Widodo. Bukan hanya itu, ia menyebut SKB ini berbau “Islamofobia” dan diskriminatif karena yang jelas disasar adalah umat Islam.

Dari kacamata yang lebih luas, menurut Fadli, sedang ada upaya kriminalisi-pikiran oleh pemerintah. Pemerintah kini seolah jadi agen yang bisa menentukan mana pikiran yang diizinkan dan mana yang tidak. Di balik isu radikalisme yang terus-menerus digoreng ini, pemerintah sedang berusaha melakukan kontrol pikiran terhadap masyarakat, sebuah kejahatan yang oleh George Orwell disebut sebagai “thoughtcrime”.Padahal, hanya negara-negara otoriter yang biasa melakukan “thoughtcrime.” Dan pemerintahan Presiden Joko Widodo kini sedang berjalan ke arah itu.

Fadli menyebut, kampanye anti-radikalisme, juga portal aduan radikalisme bagi ASN, adalah aneh. Waketum Gerindra ini heran, sebab Negara sudah memiliki banyak perangkat: Badan Intelijen Negara, Kepolisian Republik Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Detasemen Khusus Anti-Teror 88, dan banyak lembaga lainnya.

“Jika pemerintah benar-benar punya data terkait sebaran paham radikal atau anti-Pancasila, sehingga mereka terus-menerus kampanye mengenai anti-radikalisme, mengapa sebaran-sebaran tersebut tidak segera dicegah, atau langsung ditindak, ditangkap, dan lain sebagainya? Kenapa justru jadi bahan ocehan?,” tanya dia.

Fadli mengaku khawatir, oleh sebagian besar publik seluruh kampanye anti-radikalisme ini akan dilihat sebagai bentuk “Islamofobia Baru”. Ia mengingatkan, dulu jilbab juga pernah dilarang oleh Pemerintah. Bahkan, anak sekolah dulu bisa dikeluarkan hanya gara-gara memakai jilbab. Dengan stigmatisasinya yang kurang lebih sama, karena pakaian itu dulu dianggap sebagai bagian dari “ekstrem kanan”.

“Kalau dulu yang distigmatisasi jilbab, kini yang diberi label negatif adalah cadar dan celana cingkrang. Apa kita mau mengulangi lagi rezim paranoid semacam itu?,” kata dia.

Dikritik setajam apapun, rupanya pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama tetap bergeming. Bahkan terbaru, malah mengeluarkan Peraturan Menteri Agama tentang Majelis Taklim. Intinya, majelis-majelis taklim yang ada di masyarakat harus terdaftar di Kemenag. Alasannya untuk memudahkan jika ada bantuan.

Direktur Penerangan Agama Islam Ditjen Bimas Islam Kemenag, Juraidi, mengatakan, dengan terdaftarnya majelis taklim akan memudahkan Kemenag dalam melakukan pembinaan. Menurutnya, ada banyak pembinaan yang bisa dilakukan, misalnya: workshop dan dialog tentang manajemen majelis taklim dan materi dakwah, penguatan organisasi, peningkatan kompetensi pengurus, dan pemberdayaan jamaah.

“Termasuk juga pemberian bantuan pemerintah, baik melalui APBN maupun APBD. PMA ini bisa dijadikan dasar atau payung hukum,” jelasnya.

Laman sebelumnya 1 2 3 4Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button