#Lawan IslamofobiaLAPORAN KHUSUS

Radikalisme Ala Menteri Fachrul Razi

Radikalisme, Stigma Ngawur

Istilah radikal, dalam pembelajaran ilmu filsafat maknanya positif. Menurut Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Farid Wajdi Ibrahim, kata radikal itu identik dengan ilmu filsafat atau ilmu kelas tinggi. Arti radikal adalah sampai ke akar-akarnya atau bersifat universal, yang berarti seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Filsafat mengajarkan cara berpikir radikal.

Namun, bukan itu rupanya radikal yang dimaksud pemerintah. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan radikalisme dengan tiga makna: (1) paham atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; (3) sikap ekstrem dalam aliran politik. Dari tiga makna itu, BNPT memilih makna kedua sebagai arti dari radikalisme dalam buku terbitan mereka, “Ensiklopedi Pencegahan Terorisme.”

Fadli Zon mencoba menerawang apa yang dimaksud pemerintah. Menurut dia, sejatinya yang hendak dirujuk oleh Pemerintah saat menggunakan terma “radikalisme” adalah “ekstremisme”. Sebab, menurut Fadli, secara konseptual radikalisme itu bisa positif, tidak hanya negatif. Tapi tidak demikian halnya dengan ekstremisme. Sikap ekstrem yang diikuti dengan kekerasan disebut dengan “violence of extremism”.

Istilah ekstremisme pun, menurut mantan Perdana Menteri Mohammad Natsir, juga telah mengalami pergeseran makna. Istilah ekstrim sering digunakan secara latah, yang dikembangkan menjadi instrumen politik atau instrumen rekayasa. Bukan sekadar istilah akademik semata. Radikalisme adalah stigma.

Dalam Islam, kata Anggota Ikatan Ulama dan Dai Asia Tenggara, Tengku M Yusran Hadi, tidak ada istilah radikalisme. Membela agama dari para penista agama tidak boleh disebut radikal. Melaksanakan amar ma’ruf dan nahi mungkar tidak boleh disebut radikal. Melawan kezaliman dan kecurangan tidak boleh disebut radikal. Mencegah, melarang kemungkaran dan kemaksiatan tidak boleh disebut radikal.

“Semua itu adalah ajaran Islam yang diperintahkan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya. Seorang muslim wajib patuh dan berloyalitas kepada agama. Semua ini bermanfaat dan berdampak positif dalam kehidupan beragama, bangsa dan negara,” kata Yusran.

Doktor Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh dari Internasional Islamic University (IIUM) Malaysia ini menyarankan, agar Menag Fachrul Razi fokus melaksanakan tugas yang diamanahkan oleh undang-undang, agar Kemenag menjadi lebih baik dari sebelumnya.

“Selama ini Kemenag mendapat stigma negatif dari masyarakat terkait kasus korupsi, jual beli jabatan, liberalisme, sekulerisme dan lainnya. Persoalan ini harus menjadi prioritas kerja Menag,” pungkasnya.

(Shodiq Ramadhan)

Laman sebelumnya 1 2 3 4

Artikel Terkait

Back to top button