SIRAH NABAWIYAH

Rasulullah sebagai Seorang Majikan

Sesungguhnya pergaulan seseorang dengan para budak dan pelayannya bisa menjadi tolok ukur yang paling akurat dalam menilai kepribadian orang tersebut, karena tidak ada penghalang baginya kecuali penghalang akhlak dan agama. (Prof. Rawwas Qal’ah Jie)

Sebagai seorang kepala negara dan kepala pemerintahan, Rasulullah Saw memiliki sejumlah budak dan pelayan. Budak beliau dari kalangan laki-laki antara lain Zaid bin Haritsah, Tsauban, Anjasyah, Safinah bin Furukh. Sedangkan pelayan beliau antara lain Anas bin Malik ra yang melayani keperluan Rasulullah, Abdullah bin Mas’ud ra yang mengurus sandal dan siwak beliau, Uqbah bin Amir al-Juhani ra yang mengurusi bighal beliau ketika dalam perjalanan, Aslak bin Suraik mengurusi unta, Bilal bin Rabah yang menyerukan azan, dan Aiman bin Ubaid yang mengurusi alat-alat kebersihan dan hajatnya.

Bagaimana sikap Rasulullah kepada para budak dan pelayannya? Beliau adalah teladan dalam memperlakukan para budak dan pelayan. Tidak pernah ada bentakan, apalagi pukulan. Kisah berikut adalah salah satu contoh perlakuan Rasulullah kepada salah satu budaknya, yang akhirnya dimerdekakan, Zaid bin Haritsah.

Rasulullah Saw membebaskan Zaid bin Haritsah. Lalu beliau mengangkatnya sebagai anak sendiri –ketika mengangkat anak masih disyariatkan—dan menamainya Zaid bin Muhammad. Kemudian beliau menikahkan Zaid bin Haritsah dengan putri bibinya, yakni Zainab binti Jahsy al-Asadiyah. Ketika terjadi perselisihan antara kedua pasangan suami istri tersebut, Rasulullah saw berusaha mengurangi kesedihan Zaid dan lebih dari sekali beliau ikut berusaha mendamaikan keduanya. Ketika dilihat tidak ada harapan lagi untuk mendamaikan keduanya, Zaid menceraikan Zainab. Lalu Rasulullah Saw menikahkan Zaid dengan Ummu Aiman –ibu asuh Rasulullah Saw—yang kemudian melahirkan seorang putra yang bernama Usamah.

Agar kita bisa menggambarkan bagaimana rasa cinta Zaid kepada Rasulullah Saw, kita cukup mengetahui bahwa Zaid lebih memilih untuk tinggal bersama beliau daripada harus pergi bersama bapaknya. Waktu itu bapaknya datang bersama Ka’ab bin Syarahil menemui Rasulullah Saw dengan membawa tebusan agar beliau mau mengembalikan Zaid kepada mereka berdua. Rasulullah Saw berkata kepada Haritsah (ayah Zaid), “Apakah tidak ada pilihan selain itu?” Haritsah berkata, “Apakah itu?” Beliau bersabda, “Panggillah dia dan berikanlah pilihan kepadanya. Jika dia memilih kalian maka dia menjadi milik kalian tanpa perlu ada tebusan. Akan tetapi, jika ia memilihku maka, demi Allah, tidak ada seorang pun yang akan bisa memisahkan aku dengan orang yang memilihku.” Mereka berkata, “Engkau telah memberikan tawaran standar dan engkau telah membuat cara yang baik.”

Lalu Rasulullah Saw memanggil Zaid dan berkata, “Apakah kamu mengetahui siapa mereka?” Zaid berkata, “Ya. Ini adalah ayahku dan ini adalah pamanku.” Beliau bersabda, “Dan aku adalah orang yang sudah engkau ketahui dan engkau lihat bagaimana kecintaanku kepadamu. Karena itu, sekarang apakah engkau akan memilih aku atau mereka berdua?” Zaid menjawab, “Tidak ada seorang pun yang bisa memisahkan aku dengan engkau yang kupilih. Di mataku engkau sama dengan ayah dan paman.” Mendengar itu, mereka berdua berkata, “Celaka kamu! Apakah engkau lebih memilih penghambaan daripada kebebasan bersama ayahmu, pamanmu, dan sanak keluargamu?” Zaid berkata, “Ya. Sesungguhnya aku melihat dari laki-laki ini (Muhammad Saw) sesuatu yang menjadikan aku tidak bisa dipisahkan oleh siapapun darinya selama-lamanya.”

Menurut Profesor M Rawwas Qal’ah Jie dalam kitabnya, Dirasah Tahliliyyah li Syakhsiyatur Rasul Muhammad, kasih sayang Muhammad saw kepada Zaid bin Haritsah dan perlakuan yang baik kepadanya bukanlah termasuk kategori sayang seorang tua kepada anak kecilnya. Karena jarak usia antara keduanya tidak lebih dari sepuluh tahun. Zaid sepuluh tahun lebih muda dari Rasulullah Saw. Sikap beliau juga bukan karena kagum atas ketampanan dan keindahan rupa Zaid, karena Zaid adalah seorang yang buruk rupa, ia seorang yang bertubuh pendek, kulitnya sawo matang kehitaman, dan hidungnya pesek. Sikap beliau juga bukan karena bisa saling menguntungkan, karena kita tahu bahwa Zaid bin Haritsah adalah hamba sahaya milik Muhammad Saw. Dengan demikian, kecintaan beliau kepada Zaid tiada lain karena sebuah jiwa besar dan luhur yang jauh dari perkara hina dan rendah, sebuah jiwa yang sanggup mencapai apa yang diinginkannya dengan cinta dan kebaikan. Itulah jiwa Muhammad Saw.

Jiwa ini, lanjut Profesor Rawwas, tidak melihat seorang manusia memiliki lebih tinggi derajatnya daripada manusia lain, kecuali dengan kebaikan yang dilakukannya dan keutamaan yang dibuatnya. Inilah jiwa yang tidak menganggap jabatan kenabian yang dianugerahkan kecuali sebagai sebuah tambahan beban tanggung jawab yang sering dilalaikan oleh banyak orang.

Karena itulah, Rasulullah Saw tidak memandang rendah untuk pergi mengunjungi para pelayannya di rumah mereka, tinggal di sana bersama mereka serta bermain-main dengan anak-anak mereka, serta memasukkan kegembiraan pada hati-hati mereka. Anas bin Malik, salah satu pelayan Rasulullah Saw, pernah berkata, “Nabi Saw pernah datang mengunjungi ibuku. Lalu ia melihat saudaraku, Abu Umar, sedang bersedih. Beliau kemudian bersabda, “Wahai Ummu Sulaym, mengapa Abu Umair bersedih?” Ummu Sulaym berkata, “Wahai Rasulullah, ia bersedih karena nughair (burung pipit kecil) teman mainnya telah mati.” Rasulullah saw berkata, “Wahai Abu Umair, apa yang terjadi dengan nughair-mu?” Sejak itu, setiap kali beliau melihat Abu Umair, beliau selalu mengucapkan perkataan tersebut.

Inilah salah satu teladan Rasulullah sebagai seorang majikan. Siapa saja saat ini yang berposisi sebagai majikan, contohlah perilaku Rasulullah dalam memperlakukan para pelayannya. Wallahu a’lam bi shawwab.

(shodiq ramadhan)

Artikel Terkait

Back to top button